十 | Mempercayakan Hati

3.7K 748 316
                                    

Dini hari gue masih terjaga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dini hari gue masih terjaga. Rasa ngantuk gue hilang entah kemana. Hal ini disebabkan oleh suara deburan ombak pantai di pagi-pagi buta. Suaranya tenang, membuat gue rileks tetapi tidak mengantuk.

Gue menatap deburan ombak di depan sana sembari mengeratkan coat yang melingkupi tubuh gue. Suhu pantai pada jam dua dini hari itu bisa terbilang dingin dan menusuk kulit. Sekalipun gue di dalam mobil dengan kaca yang tertutup rapat, udara dingin itu dapat mengetuk kaca dan menembusnya. Harusnya gue memilih pulang daripada menangis di jalan hingga membuat lelaki yang tidur di pangkuan gue itu membawa gue ke tempat yang jauh.

Orang yang gue maksud adalah Felix. Lelaki yang gue percayakan untuk menjadi suami gue. Gue yang memilih Felix sendiri setelah lama berperang dengan batin. Alasan gue memilihnya adalah gue tidak mau membayar ganti rugi dari segala barang yang ia berikan, dengan ginjal gue. Alasan lainnya, perasaan gue menang melawan logika. Perasaan gue terhadap Felix.

Mungkin memang gue sudah mencintai Felix sejak melihat visi itu. Buktinya gue tidak mampu untuk menolaknya.

Tadinya pun keputusan gue sempat ditolak mentah-mentah oleh Gama. Dia tidak setuju akan keputusan gue. Gama marah sampai akhirnya Felix kena tinju lagi. Tidak hanya Felix. Gue dan Eldo juga kena. Gue didorong Gama sampai kembali membentur lantai. Gama membuat gue terluka, dan gue malah melupakan sifatnya yang temperamental.

Gama kecewa berat dengan gue. Demikian pula dengan gue yang kecewa terhadap diri sendiri. Gue menghancurkan impiannya menikahi gue. Gue memilih Felix daripada dirinya yang menemani gue sejak kecil. Alhasil selama di perjalanan menuju rumah, gue menangis karena teringat Gama. Gue tidak menyesali keputusan gue, tetapi gue menyesali perasaan Gama yang terlanjur dalam ke gue.

Ah, tahu. Gue tidak mengerti dengan gue sendiri.

Lamunan gue buyar seketika karena Felix meringis. Ia meringis seraya mencengkeram coatnya yang gue pakai. Gue tiba-tiba panik mendengarnya seperti sedang merintih kesakitan. Gue pun memegangi kepalanya kemudian mencondongkan badan untuk menghidupkan lampu dalam mobil.

"Felix!" gue memanggilnya pelan sembari mengubah posisinya menjadi telentang. Felix tampak ingin menangis walau matanya terpejam. Pasti efek ditonjok Gama hingga lebam-lebam, membuatnya kesakitan.

"Felix, apa masih sakit?" tanya gue padanya. Ia mengerang pelan.

Tidak ada yang dapat gue lakukan selain mengusap pipinya pelan untuk mengurangi rasa nyeri. Di pantai tidak ada es batu untuk mengompres lebamnya. Jadinya gue hanya mengusapnya saja.

Lama gue mengusapnya, erangan Felix berhenti. Seiring dengan mulutnya terkatup, matanya perlahan-lahan terbuka. Gue menggigit bibir melihat mata Felix sayu.

"Harusnya kita pulang daripada di sini. Lebam kamu perlu dikompres," gue berkomentar ketika Felix menatap gue.

"Kamu sedih..."

[2/2] Querencia ✖ Lee FelixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang