Ditengah perjalanannya, kesukaranpun datang lagi menghampirinya. Ini matahari yang Ayu benci. Teriknya mendidihkan ubun-ubun. Itu membuatnya tak tahan lagi untuk segera mencari sandaran dan tempat berteduh.
Walaupun belum menghasilkan apa-apa, dia tahu, dia harus pulang.
Tapi itu membuatnya bingung, dia tidak tahu jalan pulang.
Tak tahu darimana bisikan itu, dia teringat Coffeeshopnya Dwiki, dan berfikir mungkin dia butuh bantuannya.
Ya.. Ayu merasa aman didekatnya, dan diapun kembali.
Sesampainya disana, tanpa basa basi Ayupun duduk dikursi yang ia duduki semalam sembari menunggu tawaran dari malaikatnya.
Benar! tak lama Dwiki pun datang dengan hidangannya.
"Makanlah!" ujar Dwiki sambil mengambil posisi duduknya.
"makasih!" Ayu tidak menolak.
"Jadi udah menemukan apa hari ini??" tanya Dwiki basa basi.
"uhhmmm" Ayu bingung menjawab, dan memilih diam.
"Kenapa kamu tidak pulang saja?" tanya Dwiki mengalihkan pembicaraan.
Ayupun menghentikan kunyahanya. lalu meminum air putih yang dihidangkan Dwiki tadi bersama sandwich berlapis telur dan berbagai saladnya.
"Tulang-tulang punggung ku merasa lelah setelah berbaring diranjang kayu ku setiap hari.
Sangkin benci akan pagiku, Aku kembali baringkan badanku seraya menutup mataku kembali.
Terjaga membuatku kehilangan mimpiku di setiap malam.
Terpaksa ku ganti itu semua dengan khayalan dan lamunan.
Dicekik waktu dan dipecundangi dunia. Aku selalu begitu.
Lantas mengapa kau menyuruhku pulang?"
Dwiki tersenyum seolah mengerti setiap sudut rasa dihati Ayu. Lalu menjawab, "bukankah itu lebih baik dari pada kamu seperti ini?"
Sambil senyum dengan tatapan penuh luka kearah Dwiki ,
"Heuuh..
Andai kupunya gelar dan kertas-kertas penjamin diri, mungkin sudah ku raih setiap anganku.
Tapi aku tak punya itu, aku hanya tulang belulang yang dilapisi segumpal daging, kurus kerempeng dengan sedikit otot. Tenaga ku hanya cukup untuk menggerakkan sendi-sendi ku sesaat." ujar Ayu dengan bibir seperti tak mampu menahan derita.
Dwiki membalas tatapan Ayu dan menggenggam kedua tangan Ayu yang tepat berada diatas meja makan.
"Itu asumsi silemah tanpa ijazah, tak mau menaiki tangga itu lagi karna hanya takut tak kuat lalu jatuh lagi." Dwiki mencoba menenangkan.
Namun hati Ayu malah semakin menjerit, tak kuasa ingin berterus terang demi pengertian dan perhatian yang ia butuhkan saat ini.
"Aku memikirkan sakit dari setiap resiko yang ada.
Hingga seluruh kulitku pun merasakannya, begitulah sifat persuasifnya sebuah sugesti dari dalam diriku.Menatap indahnya masa kecil, membuat ku larut dan kembali manja.
Ingin tau lagi rasanya menangis dan tertawa secara bersamaan , maupun dalam seling waktu yang dekat.
Tapi kenyataannya sekarang aku dinegri penjara. Bukan dalam artian yang sesungguhnya, tapi yang kumaksud adalah negri yang mengurungku didalamnya, tak bisa kemana-kemana, dan tak tau harus apa."
Semakin deras air matanya.
"Pernahku coba keluar pintuku dan berjalan dijalan yang sama dengan ambisi yang berbeda hanya demi mengkoleksi kata-kata penolakan.
Bingungku ingin menyambung hidupku, hidup segan matipun tak mau.
Setiap yang ku susun selalu jadi berantakan diujungnya, tak tau kenapa. Aku gampang menyerah ketikaku menemukan jalan buntu didepanku, tak ingin mencoba lagi."
menghela nafas dan lebih menundukkan kepalanya lagi.
"Lebih baik kususun lagi yang baru, meskiku akan lelah memikirkan kegagalan yang mungkin akan datang lagi setelahnya."
"Lalu kamu mau saja dikalahkan oleh kegagalan mu itu??" tanya Dwiki dengan nada yang lantang.
"Siapa bilang aku kalah?" ujar Ayu menolak.
"Dan tadi kembali ku seruput pahitnya pagi, dimana cahaya surya menembus kelopak mataku. Aku tak bisa menolak lagi untuk bangun.
Coretan yang ku buat kemaren serta lembaran-lembaran dari catatan sipil merarau memintaku menggendongnya lagi hari ini, dan membawanya ke teras-teras usaha orang lain.
Terpaksa ku turuti permintaan itu, dari pada nanti ia melolong dan menemuiku lagi didalam mimpi." ketegasan kata-kata Ayu menolak menyerah.
"Selalu terngiang dikepalaku sebuah pertanyaan yang muncul disetiap pagi ku akhir-akhir ini. Sekarang kemana lagi? Mungkin ku harus tempuh lagi jalan ini, berjalan lagi di rel yang sama sambil berharap kaki ini mampu membawaku lebih jauh dari yang kemarin, Atau ku coba arah yang lain ,sambil menandai jalanku untuk pulang?"
"huuftt,.. terserahlah,.." Ayu menunjukkan ekspresi pasrah dengan nada yang goyang akibat bibir yang tak mampu menahan tangisnya.
"Kemanapun, asal ku tau cara untuk kembali." lanjutnya bercerita.
"Toh Kaki ku pun sudah sepakat untuk bekerjasama dari hari itu.Hingga terik berganti senja. Tak tega ku melihatnya, aku putuskan untuk menghentikan pencarian ini lalu pulang ke zona aman ku." bicara Ayu dengan nada semakin meratap.
Dwikipun merubah posisi duduknya kesebelah Ayu, dan memeluknya dari samping.
"Datanglah kapanpun kamu mau" ucap Dwiki sambil menenangkan Ayu.
"Dibelakang ada sebuah kamar tempat biasa aku berdiam melepas penatku, baringkanlah sejenak lelahmu disana. Sedangkan aku harus kembali bekerja untuk pelanggan ku." Tawaran Dwiki kepada Ayu.
Ayu pun tidak bisa menolak karena lelahnya sudah menyertai jiwa dan raganya.
Sesampainya di depan pintu tempat peristirahatan, dengan rasa tak sabar ia lepas sepatunya.
Benar, ternyata ini yang membuatnya merasa kasian kepada dirinya sendiri. Petualangan hari ini meninggalkan bekas-bekas dikaki dan aroma petualang.
Dia paksakan membasuh lukanya. Dengan mata yang mengerang kesakitan, ia bilas dan ia manjakan kakinya.
Dan setelah itu, Ayupun mengistirahatkan jiwa dan raganya bersama peluh yang menemaninya seharian tadi.
★Bersambung★
°Butuh cover untuk coretan-coretan kamu? japri aja!°
cp/wa : 083841524542
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayu & Folk
Historical Fiction[Sedang revisi] / penyelesaian. Menurutmu, apa sih emansipasi itu? mengaku kuat demi suatu kesamaan hak dalam diri? merasa sanggup saat kau dipecundangi? atau mengaku lemah saat tersandung kerikil yang tak punya mata sama sekali? kenapa tidak sama-s...