Mataku menatap ke arah pemandangan yang kebanyakan dipenuhi warna hijau. Sawah-sawah berbentuk kotak-kotak dan tersusun dengan rapi seperti tangga, langit yang biru tanpa awan tebal, dan pegunungan di sebelah yang menampakkan kabut tipis. Ini benar-benar indah dan menenangkan, sudah lama aku tak menghirup udara segar pegunungan yang jarang berpolusi ini.
Pandanganku beralih pada teman-temanku yang tampak sibuk berfoto dengan latar pemandangan yang sedang kunikmati tadi. Aku tersenyum tipis dan sesekali tertawa kecil karena mereka berpose dan menempel satu sama lain. Mereka seperti anak kecil yang sedang bermain-main dan tak peduli jika mereka adalah laki-laki dan perempuan.
"Ji Hyo, sini, kita foto bersama-sama." ajak Yoo Jung sembari melambaikan tangan, salah satu teman perempuanku.
"Tak usah, aku lebih suka menikmati pemandangannya langsung dibanding berfoto." jawabku.
Aku berbohong. Aku suka berfoto, apalagi saat bersama teman-teman. Tentu saja ada alasan kuat mengapa aku tak ingin bergabung di sana. Mataku kini menatap seorang lelaki yang memakai sweater putih yang agak longgar, namun tetap terlihat cocok karena badannya yang kekar. Oh tidak, sepertinya dia juga menatapku. Tanpa berpikir panjang, aku mengalihkan tatapanku lagi dan berpura-pura sibuk menikmati pemandangan.
Kami berjumlah sekitar tujuh orang. Tiga perempuan dan empat laki-laki. Ini adalah ke sekian kalinya kami berlibur di tempat yang sama sejak bertahun-tahun yang lalu, yaitu pegunungan yang kira-kira dapat menempuh tiga jam perjalanan dari rumahku. Bisa dibilang kami bertujuh adalah geng / perkumpulan sahabat, entahlah, aku pun malu jika harus menyebutnya seperti itu. Apalagi usia kami sudah mencapai 25 tahun.
Setelah puas berfoto, kami pun berjalan ke penginapan yang merupakan milik Yoo Jung. Setiap kami berlibur ke sini, penginapan Yoo Jung menjadi tempat yang paling nyaman, karena gratis.
Perjalanannya cukup panjang. Apalagi berjalan kaki dan jalan yang dilewati pun merupakan tanjakan, wajar saja, ini pegunungan. Beberapa kali kami beristirahat sejenak sembari mengobrol, entah tentang masa lalu saat sekolah atau hanya sekedar kegiatan yang sedang dilakukan sekarang.
Mungkin aku adalah orang yang paling sering berhenti untuk mengistirahatkan kakiku. Padahal selama bertahun-tahun berkunjung ke sini, tetap saja aku tak bisa membiasakan diri. Karena tak ingin merepotkan temanku, aku membiarkan mereka berjalan duluan, sementara aku duduk di batuan pinggir jalan dan tertinggal di belakang tanpa mereka sadari.
Yah, aku juga tak akan tersesat karena sudah menghapal tempat ini dengan baik. Sementara aku sedang memijat betisku, aku terkejut saat melihat seorang lelaki ber-sweater putih sedang duduk di sampingku. Entah sejak kapan dia ada di sini.
"Kau sedang apa di sini?" tanyaku. Ini adalah percakapanku yang pertama kalinya sejak liburan kali ini dimulai.
"Aku tak mungkin meninggalkanmu di sini sendirian, kan." jawabnya cuek sembari berkutik pada handphone-nya.
Cih, menyebalkan. "Aku tak meminta apapun." jawabku kembali memijat dan memukul pelan betisku yang kelelahan.
"Aku melakukannya karena mau."
Aku terdiam mendengar ucapannya. Entah sejak kapan aku merasa canggung berada di dekatnya, padahal sampai liburan tahun lalu, dia adalah orang yang paling membuatku nyaman hanya dengan kehadirannya saja. Memutuskan hubungan cinta tampaknya berdampak juga dengan pertemanan kami. Padahal sebelum berpacaran, kami adalah teman baik, bahkan sahabat yang sangat dekat, melebihi teman perempuanku.
"Jong Kook." panggilku padanya. Sepertinya ada yang ingin kusampaikan pada laki-laki yang bernama Jong Kook ini, tapi saat dia menatapku, entah kenapa lidahku terasa kelu. "Kau... Apakah kau rela jika aku menerima lamaran Yoon Do?"
Beberapa hari yang lalu, teman sekelasku saat kuliah, Jung Yoon Do tiba-tiba menemuiku dan hendak melamarku. Aku belum menerimanya, jadi dia tak langsung datang pada orangtuaku.
Jong Kook terdiam. Kini handphone-nya sudah masuk dalam sakunya. Tampaknya dia sedang berpikir.
Aku yang menatapnya sejak tadi berharap dia menjawab 'tak rela' pun membuang tatapan itu. Aku beranjak dari dudukku. "Kau lama sekali menjawabnya. Sepertinya aku sudah tahu jawabanmu." ucapku lalu berjalan hendak meninggalkannya.
Langkahku terhenti saat Jong Kook menahanku dengan menggenggam lenganku. "Kau sudah tahu? Beritahu aku apa yang kau pikirkan."
Aku sedikit mendongak menatapnya karena tinggi badannya yang sedikit melebihiku. Aku melepas genggamannya, "Kau rela." jawabku.
Jong Kook tertawa kecil. "Lalu, apakah jawabanku penting untukmu? Jika aku bilang aku rela, kau akan menerimanya? Jika aku bilang tidak, apakah kau bersedia menolaknya?"
"Setidaknya orang yang kusukai hanyalah dirimu. Aku tak memikirkan siapapun lagi. Jika kau tak menginginkanku, aku akan membuka hati untuk orang baru, karena aku yakin seseorang bisa menyingkirkanmu dari hatiku. Kau bukan laki-laki terakhir yang ada di dunia ini."
"Apakah cintamu semudah itu?" tanyanya tak habis pikir.
Aku tersenyum tipis. "Ya, itu mudah saja. Aku sudah mengungkapkan apa yang kurasakan padamu. Sekarang giliranmu. Nasib lamaran Yoon Do bergantung pada jawabanmu."
Jong Kook menghela napas. "Maaf." ucapnya yang membuatku sangat kecewa. "Aku tak bisa membiarkanmu menikah dengan laki-laki lain. Jika kau berniat, aku akan datang mengacaukan acara itu."
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Rasanya sangat lega mendengar jawaban itu. Sepertinya liburan kali ini adalah hal yang paling tak akan kulupakan seumur hidup.
•••
Jadi ini akan menjadi part terakhir di cerita ini. Maaf jika selalu menyuguhkan cerita yang gaje, karena diriku sendiri sedang berjuang mencari inspirasi yang tak kunjung kudapatkan. Hahaha.
Terima kasih yang selalu menyempatkan membaca cerita-ceritaku. Ilysm 💕
choco-salt, 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
SpartAce Oneshot Collection
Fanfiction[Kim Jong Kook - Song Ji Hyo Fanfiction #3] [10/10 end] Cerita-cerita pendek yang aku buat pas lagi bosan nulis cerita bersambung. [Beberapa / semua sifat karakter dan jalan cerita bersifat fiktif alias karanganku saja. Aku menulis fiksi penggemar k...