dua puluh tiga; tanpa bunda

3.1K 446 90
                                    

Shit!

Pukul setengah tujuh Resya baru saja bangun dari tidurnya. Ia melihat jam di nankas yang menunjukkan dimana jarum panjang dan pendek hampir berdekatan diantara angka enam dan tujuh.

Bunda tidak ada di rumah, pantas saja Resya terlambat bangun, lagi. Bedanya, waktu itu masih ada Bunda yang menyiapkannya sarapan. Sekarang, yang ada di benak Resya bagaimana caranya agar ia bisa cepat bersiap.

Sepertinya Lukas belum bangun, sebab rumah masih terlihat sepi. Lampu teras belum dimatikan dan tirai juga belum dibuka.

Ya begini nasib kalau ditinggal oleh Bunda.

Tanpa berniat membangunkan Lukas, Resya memilih untuk segera bersiap sebelum ia kehabisan waktu. Ia tidak mau terlambat lagi.

Sekedar informasi, Malik sudah pulang ke kosannya tadi malam. Tidak tahu tepatnya pukul berapa, tapi sepertinya hampir tengah malam.

Lima belas menit Resya habiskan dengan secepat kilat. Ia mandi dan berdandan seadanya. Beruntung semua buku sudah ia persiapkan sejak malam. Jadi, ia bisa langsung berangkat. Ia tidak ada niatan untuk sarapan; tidak ada waktu.

Sebelum berangkat, Resya menggedor pintu kamar Lukas terlebih dahulu. Bagaimanapun juga, abangnya itu harus dibangunkan. Kalau tidak, bisa sampai nanti tengah hari latihan menjadi mayatnya.

"Bang, bangun! Udah siang nih, gue mau berangkat!" pamitnya. "Gue ga bikin sarapan, kesiangan. Lo bikin sendiri aja!"

Entah itu Lukas mendengar atau tidak, Resya segera berangkat. Masa bodo lah mau Lukas ada kelas pagi atau subuh.

Sampai di luar rumah, Resya dikejutkan dengan Janu yang duduk di atas motor milik cowok itu sambil memainkan ponsel. Lah, sejak kapan dia di sini? Perasaan, Resya tidak menyuruhnya untuk menjemput dan berkata ingin berangkat bersama.

"Lo ngapain di sini?!" tanya Resya heran. Ia mendekat kearah Janu berada.

"Jemput lo lah."

"Gue kan ga minta."

Janu mengendikkan bahunya, "Inisiatif aja. Bunda lo kan ga ada, takutnya lo telat bangun. Makanya gue jemput."

"Lo jemput ga ada gunanya kalau lo cuma ngejogrog di sini. Gimana gue mau bangun kalo lo aja malah diem. Mau bangungin pake telepati?! Ngaco lo!"

"Bukan pake telepati, tapi pake isyarat hati."

Sial, pagi-pagi sudah menggombal. Resya belum sarapan, tapi sudah ada asupan bucin dari Janu. Yang ia butuhkan nasi, bukan harapan.

"Alah ngomong apasih lo, yuk berangkat! Keburu telat, ntar ditegur OSIS lagi." Resya mengambil helm-nya yang berada di spion motor. Hari ini ia tidak membawa motor.

"Kan gue ketuanya, emang mereka berani negur?!"

"Songong banget lo. Kalo salah ya tetep ditegur, jangan mentang-mentang ketua seenaknya sendiri."

"Siap, Ibu Negara."

Resya mulai naik ke boncengan Janu. Waktu menuju bel masuk kurang sepuluh menit lagi, namun keduanya masih santai di sini. Janu yang notabene panutan seluruh siswa SMA Dharma Bakti malah bisa-bisanya tidak riweuh kalau sampai terlambat; ia terlihat tenang, seperti biasanya.

Namun, perkiraan Resya ternyata salah. Begitu sampai di jalan raya, Janu langsung memainkan gas dengan tidak main-main. Ia ngebut demi mengejar waktu.

Sumpah, sengebut-ngebutnya Resya kalau di jalanan, tetap takut kalau dibawa ngebutnya pas diboncengin. Berasa nyawanya akan dicabut detik itu juga.

mas ketos; end Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang