empat puluh lima; tumbang

954 144 15
                                    


Usai meratapi nasib dompetnya yang ludes dalam sekali jalan —Lukas memilih untuk ngopi di teras depan rumahnya. Ia membiarkan adik perempuannya menghabiskan semua makanan yang tadi dibelinya.

Pikir Lukas, 'sudahlah, semaunya anak itu saja'. Toh, kalau nanti sakit juga salahnya. Senang sekali mencari penyakit.

Lukas sibuk memainkan ponselnya. Biasa, bertukar pesan dengan Yuqi. Tadi, niatnya mereka akan bertemu, namun terhalang dengan Lukas yang malah mengantarkan Resya mencari obat sakit hati. Parah emang.

Satu lagi yang kurang, sebungkus rokok yang berada di samping kopi ikut menemani Lukas siang ini. Baginya, no nyebat no life. Hidup berasa hampa kalau ga ngerokok.

"Halo, sayang," ucap Lukas bertelepon dengan Yuqi.

"Iya, halo."

"Yang, maaf ga bisa ketemu. Nanti malem kita dinner aja gimana?" tawar Lukas sebagai pengganti kegagalannya tadi.

"Terserah kamu aja gimana enaknya. Aku ngikut."

"Ih, kok gitu sih, yang. Kamu masih ngambek ya gara-gara tadi."

Pakai segala ditanya lagi. Ya jelas iya lah, huhu.

"Yaudah, nanti malem aku bawain kamu seblak. Tapi abis itu kita keluar ya," bujuk Lukas masih tak mau menyerah.

Yuqi hanya membalasnya dengan deheman. Fiks kalo ini mah, pasti beneran ngambek. Lagian, salah Lukas juga tadi sebelum mengantarkan Resya tidak berpamitan dulu dan tidak memberi kabar. Jadi, kemungkinan besarnya Yuqi sudah siap untuk pergi, namun harus menelan kekecewaan karena Lukas membatalkannya.

"Oke, nanti malem aku ke rumah kamu. Tungguin, ya!"

Sambungan telepon dimatikan oleh Lukas. Bukan tanpa alasan ia langsung mematikannya. Ini karena ada seseorang yang menginterupsi kegiatannya. Terpaksa ia mengakhiri telepon secepatnya.

Tamu tak diundang itu ialah Janu.

Melihat wajahnya saja langsung membuat Lukas emosi ingin menonjok. Serius, ia sedang sensitif jika menyangkut Janu. Rasanya, ia ingin membalaskan rasa sakit hati Resya.

Sebagai saudara, sepertinya wajar jika ia merasa begitu. Ia menyayangi adiknya.

"Ngapain lo ke sini? Mau nyari ribut?!"

Baru datang sudah disambut seperti ini. Janu jadi ingin balik saja rasanya. Bukan karena takut, tapi seperti lebih ke 'kenapa harus Lukas yang nyambut?'.

"Engga, Bang. Gue cuma mau liat keadaannya Resya aja gimana," jelas Janu.

"Bacot lo! Jadi cowok bisanya cuma nyakitin doang."

Dikata-katain seperti ini? Janu sudah terbiasa.

"Resya baik-baik aja 'kan?" tanya Janu memastikan. Ia tak akan menyerah begitu saja.

"Menurut lo?!"

Jika ditanya bagaimana menurut Janu, jelas Janu akan menjawab pasti tidak baik-baik saja. Bukannya ge-er nih ya, tapi tadi siang ia tahu sendiri bagaimana Resya marah-marah kepadanya setelah mendengar kabar itu.

"Gue ngerti, bang, lo pasti udah tau kan soal permasalahan ini? Sebelum ngejelasin ke Resya, gimana kalo gue jelasin ke lo dulu, biar lo ga salah paham sama gue terus-terusan."

Sebenarnya, Lukas sudah malas sekali jika harus berbicara dengan Janu. Ia agak gedeg dengan anak itu. Melihat wajahnya saja ia enggan.

"Duh, gue ga mau ikut-ikut urusan kalian deh," tolak Lukas.

mas ketos; end Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang