(Ada saatnya kita memberi jeda sejenak pada tubuh, agar bisa beristirahat)
Hari minggu pagi, aroma roti yang baru matang memenuhi rumahku. Caramel bernyanyi-nyanyi sambil pemanasan sebelum berangkat ke latihan ekstranya menjelang pertunjukan. Kale sedang mencuci mobil dan aku terkapar di tempat tidur karena demam.
"Mande udah bilang, kamu itu jangan tidur mangap. Jadinya masuk angin, kan?" Mande masuk membawa bubur. Kukernyitkan dahi dengan aromanya lalu merasa mual.
"Masuk angin nggak ada di istilah kedokteran, Mande. Aku ini kena enter the wind."
"Halah. Sakit-sakit masih nyoba garing kamu, La. Makan buburnya terus minum obat dan tidur." Sabda Mande adalah perintah absolut. Lebih baik menurutinya atau dikutuk jadi batu.
Aku meringis saat mencoba menelan bubur dengan mulut pahit lalu minum obat. Kata orang, saat sakit tidur adalah obat terbaik. Namun, aku merasakan hal yang berbeda. Ada lorong gelap yang menungguku lengah. Menerkam dan menelan semua kekuatanku tanpa sisa.
"Aku kan udah bilang, Vanilla itu nggak ada apa-apanya sama Caramel. Muka aja yang sama, tapi otaknya beda." Suara tawa terdengar dari kumpulan anak-anak berseragam putih merah yang sedang mengobrol di depan toilet.
"Kemarin dia jatuh waktu jalan ke depan kelas. Terus dapat nilai merah pas ujian. Kok bisa ya, kembar tapi beda banget."
"Aku bertaruh, dia itu bisa lulus ujian pasti dibantu sama Caramel."
"Mungkin semua kepintaran dan kecantikan udah diambil sama Caramel, jadi dia dapat bego dan cerobohnya. Udah mana lebih gendut, kan?"
Aku meringkuk di dalam kamar mandi, menahan napas dan air mata. Usiaku baru sembilan tahun, hidup dalam bayang-bayang Caramel yang sempurna dengan kepintaran, senyum lembut dan kecantikannya. Ucapan jahat itu tidak sengaja kudengar ketika berada di toilet. Aku memang tidak sehebat, secantik dan sempurna seperti Caramel. Namun aku masih memiliki hati. Dadaku sesak dan air mata mengalir deras.
"Illa ...." Sayup terdengar suara memanggilku. Ada kehangatan dalam suara itu yang membuatku nyaman.
"Illa ... Vanilla." Suara itu kembali terdengar. Lembut dan membujuk. Sesuatu yang sejuk menyentuh dahiku.
Saat membuka mata, kulihat Ray tersenyum lega. Tangannya sedang memeras handuk kecil untuk mengompres dahiku dengan air hangat. "Lo tidur sambil nangis-nangis, pumpkin. Sampai gue takut."
"Ngapain lo di sini?" Suaraku serak dan aneh.
"Sorry. Gara-gara gue, lo jadi sakit kaya gini." Dia mengusap handuk kecil hangat di dahiku. "Ke dokter ya, La?"
"Nggak usah. Begini aja." Kupejamkan mata, mencoba menghilangkan bayang-bayang mimpi buruk.
"Lo mimpi itu lagi ya, La? Sampai sesenggukan tadi." Kali ini Ray mengusap rambutku. Tidak peduli aku menyembunyikan semua dari keluargaku, hanya satu yang tidak dapat kulakukan. Membohongi laki-laki ini. Satu isakan kecil lolos.
Ray memelukku hangat, mencoba menenangkan. "Kalau masih mau nangis, nangis aja." Lalu aku pun luruh, menumpahkan semua rasa sesak yang menekan dada.
Aku ingat pertama kali bercerita tentang kejadian traumatis itu adalah saat Ray memergokiku gemetar di balik tembok saat orang-orang berkerumun dan bicara sembunyi-sembunyi. Padahal mereka bukan membicarakanku. Ray sampai harus membawaku ke ruang kesehatan karena aku tidak bisa diajak bicara, hanya terus gemetar. Aku sering merasa cukup kuat namun ternyata trauma itu menghantui setiap langkahku.
Bagiku, Ray bukan hanya sekedar teman Kale. Dia adalah orang yang membantuku melewati trauma dan mengurangi rasa sakit karena membenci sekaligus menyayangi Caramel. Ray pula yang menemukan bakatku. Ketika itu sedang ada lomba membuat komik yang diadakan Kementrian Pendidikan. Kami bekerja sama, dia menggambar dan aku yang membuat konsep serta ceritanya. Duet kami menghasilkan piala juara pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cheezy Love (Completed)
ChickLitVanilla selalu merasa menjadi bayangan dari Caramel, kembarannya yang terlihat sempurna. Dia memendam perasaannya sendiri dan berusaha menjauh. Tidak ada tempat bercerita kecuali pada sahabat masa remajanya, Rayferine, yang juga memiliki trauma masa...