(Cinta dan benci memang hanya dipisahkan oleh garis tipis yang bisa rapuh kapan saja)
Sewaktu kecil, aku seringkali mengagumi kakak perempuanku saat menari. Dia begitu langsing, gemulai dan semua gerakannya seirama dengan lagu. Caramel juga ramah, sering tersenyum dan menyenangkan jika diajak bicara.
Berbanding terbalik denganku yang seringkali gugup saat harus membuka percakapan, Caramel lebih mudah mendapatkan teman. Masa-masa di sekolah dasar bersamanya merupakan yang terberat bagiku. Orang-orang sering membandingkan kami, lalu berakhir dengan menertawakanku.
Aku sering merasa iri pada Caramel sampai kemarahanku meluap ketika dia berkata kalau aku beruntung. Tidakkah dia menyimak ceritaku saat di Pulau Putri? Tidakkah dia bisa menduga bagaimana rasa sakitku karena ditertawakan?
"Apa maksud lo?" tanyaku dengan bingung.
"Kamu punya segalanya! Kale dan Mande lebih sering dengerin cerita kamu. Ray juga selalu ada di samping kamu! Tapi kamu malah ngebuang semua demi hal lain."
"Gue nggak pernah ngebuang semua demi hal lain." Ucapan bernada heran itu keluar begitu saja.
"Kamu nggak tahu seberapa besarnya keinginanku untuk dilihat oleh Ray? Kamu nggak peduli sama aku, sibuk dengan dunia sendiri. Oh ya, dunia yang menyenangkan. Kamu mendapatkan semua yang aku inginkan." Napasku tersentak kaget mendengar nada suara penuh permusuhan dari Caramel.
Tiba-tiba saja semua menjadi jelas. Tidak hanya aku, Caramel pun tersiksa dengan hubungan cinta dan benci yang mengakar kuat di antara kami. Kilasan-kilasan masa lalu menyeruak begitu saja dalam ingatan.
Ketika aku menangis setelah terjatuh di panggung fashion show dan Mande menghibur. Saat Kale lebih memilih mengantar jemput karena aku lebih sering tersasar. Juga ketika Ray mengucapkan bahwa hatinya dipenuhi olehku.
Aku melihat mata Caramel dan tahu dia merasakan semua yang kurasakan selama ini. Aku iri padanya dan dia iri padaku. Rasa itu begitu kuat sampai mengalahkan akal sehat. Mataku terbelalak menatap Caramel yang masih melihat dengan pandangan berapi-api.
"Aku benci kamu, Vanilla! Apa pun akan kulakukan sampai kamu hancur!" Ucapan penuh kebencian itu seperti kutukan.
Belum sempat membalas ucapannya, tiba-tiba saja Mande masuk. Bagian depan celananya basah tersiram air. Sepertinya ibuku terburu-buru masuk saat mendengar keributan.
"Apa yang kamu katakan, Caramel? Kenapa kamu tega berkata seperti itu pada Vanilla?" Mande bertanya dengan nada murka yang langsung membuatku waspada.
"Mande selalu membela Vanilla. Hanya dia anak kesayangan di keluarga ini!" jeritan Caramel membuatku kaget.
"Mande tidak pernah membela siapa-siapa. Jaga ucapanmu, Caramel. Tenangkan dirimu. Duduk di sana! Mande ganti celana dulu lalu kita akan bicara baik-baik. Kamu juga Vanilla!" Aku terlompat kaget saat Mande juga menatapku marah.
Caramel masih gemetar menahan emosi saat melangkah ke ruang duduk. Tangan besar Ray berada di pundak saudaraku itu untuk menenangkannya. Meskipun enggan karena ada dua orang yang sering memancing emosi belakangan ini, namun aku tidak kuasa menolak perintah Mande. Bisa dibayangkan bagaimana murkanya dia saat menemukanku tidak ada di ruang duduk.
Mande keluar lima menit kemudian, dia meminta Ray untuk meninggalkan kami. Katanya ini adalah urusan keluarga. Mantan sahabatku itu mengangguk lalu menyalami Mande dan keluar tanpa kata-kata. Tepat ketika suara motor Ray menghilang dari pendengaran, Mande menatap kami dengan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cheezy Love (Completed)
Chick-LitVanilla selalu merasa menjadi bayangan dari Caramel, kembarannya yang terlihat sempurna. Dia memendam perasaannya sendiri dan berusaha menjauh. Tidak ada tempat bercerita kecuali pada sahabat masa remajanya, Rayferine, yang juga memiliki trauma masa...