(Ketika satu kesalahan, menghanguskan semua harapan. Lenyap. Musnah. Pupus sebelum waktunya)
Ray memperhatikanku dengan tajam. Gara-gara mulut ini, aku jadi terjebak dalam suasana yang tidak enak. Rasanya seperti ketahuan selingkuh, padahal aku dan dia tidak ada ikatan apa-apa kecuali persahabatan.
"Cih, bersembunyi dalam kedok persahabatan." Batinku terus bicara seorang diri.
"Jadi kalian kemarin itu jadian?" tanya Ray masih dengan tatapan ala Scott Summers alias Cyclops. Sepertinya sebentar lagi dia akan menyemburkan api dari matanya. Aku jadi ingin sedikit mengisenginya.
"Gimana ya, Ray? Gue sih agak gimana gitu sama Soka. Dia baik, pinter, oh ... ganteng juga. Apa gue terima, ya?"
Mata itu memicing tidak suka lalu tiba-tiba berkata, "Ya udah kalau itu mau lo."
"Loh? Kok jadi nggak sesuai rencana?"
Aku masih membelalak dengan heran ketika Ray berdiri lalu mengambil barang-barangnya, bersiap untuk pulang. Tadi setelah dia mencuri dengan pembicaraanku dengan Cori, Ray langsung mengajakku bicara. Tentu saja Cori dengan senang hati meninggalkanku berdua dengan manusia yang belakangan ini sulit ditebak. Tapi ternyata semuanya malah jadi berantakan.
"Lo nggak pulang? Atau nunggu dijemput pacar lo?" Laki-laki itu lewat depan pantry sebelum pulang. Ketika aku hanya mengangkat bahu, dia pun melangkah pergi.
Setelah beberapa menit shock, aku bergegas mengambil tas dan pulang. Lantai ini sudah hampir kosong dan hal terakhir yang akan aku lakukan adalah seorang diri di kantor. Denting lift dan pantulan diri pintunya, menyadarkan kalau Ray benar-benar meninggalkanku sendiri. Ini baru pertama kalinya terjadi dan aku seperti menelan sebongkah batu dengan susah payah.
Rasanya seperti Basque Burnt Cheesecake yang sengaja dipanggang dengan suhu tinggi untuk menciptakan efek terbakar. Hanya saja di kasusku, ada hati yang terbakar hangus. Hatiku. Satu kesalahan dan semua hilang.
Memutuskan pulang dengan MRT, aku berjalan dengan lunglai ke arah pintu masuk bawah tanah yang paling dekat dengan kantor. Sepanjang perjalanan aku sibuk melamun dan seperti kejadian di pagi hari, aku melewati stasiun tempat seharusnya turun.
Pikiranku terlalu penuh untuk memikirkan reaksi Ray yang sangat aneh. Biasanya dia akan tertawa lalu balas mengerjaiku. Perasaan bersalah menggelayutiku dan aku harus bersusah payah untuk tidak menangis.
Tadi aku juga mencoba mengirim pesan pada Ray namun tidak ada balasan. Ini semua membuatku frustasi dan kesal pada diri sendiri. Setelah beberapa saat mencoba menghubunginya tanpa hasil, aku pun menyerah dan memilih fokus untuk pulang ke rumah. Kalau tidak, bisa-bisa aku hanya mengitari Jakarta saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cheezy Love (Completed)
ChickLitVanilla selalu merasa menjadi bayangan dari Caramel, kembarannya yang terlihat sempurna. Dia memendam perasaannya sendiri dan berusaha menjauh. Tidak ada tempat bercerita kecuali pada sahabat masa remajanya, Rayferine, yang juga memiliki trauma masa...