Perjalanan Pertama

1.7K 165 408
                                    

manusia,
semesta,
dan ketetapan

yang main-main
dan menangis







Ada berbagai macam cara manusia untuk tertawa seutuhnya. Akan tetapi, manusia tertawa bukan hanya untuk bahagia. Manusia tertawa untuk lukanya yang sudah lama menganga, tetapi tidak usang-usang.

Manusia, apa kamu tahu? Kalau semesta itu adalah hal paling misterius. Ia menakutkan. Ia dingin. Ia tidak pernah mau tahu. Apa pun yang terjadi di atasnya, harus sesuai dengan ketetapannya. Baik atau buruk, hitam atau putih, tertawa atau luka, semesta akan tetap menang. Padahal, hatinya rapuh.

Lalu ketika dunia masih ramai oleh hampa, manusia ini adalah satu-satunya yang sudah tidak bisa tertidur nyenyak. Sepasang kelopak matanya sempat memejam. Hanya memejam. Setelah beberapa saat terdiam, pada akhirnya ia memulai perjalanan pertamanya.

"Dima! Bukannya saya menyuruh kamu datang pagi-pagi itu untuk menyerahkan tugas-tugasmu yang masih antah-berantah?" Ini adalah makian pertamanya untuk pagi yang kesekian.

"Benar, Pak. Itulah kenapa saya ada di sini sekarang. Kalau tidak, mungkin saat ini saya masih berbaring," ujar Dima seraya menguap.

"Terus mana? Tugas kamu mana, Dima?" tanya sang dosen kesal.

"Jika saya jawab dengan jawaban yang tidak jujur, apa Bapak akan percaya?"

"Tentu saja tidak!"

"Kalau begitu, tugas saya ketumpahan kopi saat saya sedang mengerjakannya, Pak."

Sang dosen mengambil napas berat. "Untung saja kamu masih belajar di semester baru. Kalau tidak, kelulusan kamu mungkin hanya angan-angan saja."

"Saya pikir juga begitu, Pak," ucap Dima dengan sedikit tersenyum.

"Dima!" Ah, sialan. Anak berandal yang satu itu benar-benar menyebalkan. "Sudah-sudah. Kamu boleh meninggalkan ruangan. Lelah saya berurusan dengan kamu. Kerjakanlah sebelum Senin selanjutnya menyapamu!"

"Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu."

Ia langkahkan kakinya, seraya menghela napas berat. Haha, yang benar saja. Gemerlapnya dunia tidak memerlukan setumpuk kertas yang tidak berguna itu. Hal paling dibutuhkan semesta adalah kemenangan. Di atas segala-galanya.

Lalu, ia mengambil satu batang rokok dari saku jaket jeans-nya. Akan tetapi, tidak ia nyalakan dan berbaring. Di sebuah bangku taman, sambil menutupi sepasang mata tipisnya dengan sebelah tangan. Jiwa-jiwanya yang bebas itu masih ingin terlentang.

"Ah, sial. Kalau gini ceritanya, pengin cepat-cepat lulus rasanya."

***

"Ra! Zara! Tunggu, woi! Lo kagak bakalan masuk kelas?" teriak Dito dari pintu kelas.

"Izinin gue ya, To. Lagi malas gue." Lalu si gadis pemilik nama yang terdengar begitu cantik ini adalah salah satu bagian dari keheningan yang jauh dari jangkauan manusia.

Zara menyampirkan tas gendongnya di bahu sebelah kiri. Adalah hal paling menyebalkan mempelajari penyakit-penyakit jiwa manusia. Baginya, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada sarapan nasi kuning di warung pinggir jalan dekat kampusnya.

Gadis itu terlihat sederhana dengan penampilannya. Setelan kaos bergaris lurus menyamping, dan rambut yang sengaja ia cepol asal, terasa sangat santai dengan celana jeans bersama sepatu kets-nya.

"Aw!" pekiknya.

"Eh maaf, Mbak. Aku nggak sengaja."

Zara memutar bola mata malas memandang orang yang tidak sengaja menyenggol bahunya, kesal. Ia laki-laki. Matanya sipit, kulitnya putih, dan sedikit kurus. Tanpa berkata apa-apa, gadis urakan itu pergi begitu saja. Sedang laki-laki itu, tersenyum.

"Bu! Pesan satu porsi nasi kuning jangan pakai kerupuk, ya," katanya setelah sampai sambil duduk menyimpan tas.

"Seperti biasa, Neng?"

"Iya, Bu."

Setelah membiarkan waktu berlalu beberapa saat, nasi kuning pesanan Zara sudah siap. Warung ini memang menjadi salah satu kesukaanya untuk memenuhi kebutuhan perut.

"Lahap banget, Neng. Belum sempat sarapan, ya?" tanya Bu Jum. Pemilik warung ini.

"Di rumah nggak sempat, Bu. Makanya lari ke sini. Lagian, nasi kuning Bu Jum itu nagih banget, sih. Heran," jawabnya.

"Ah, kamu bisa saja."

"Seriusan ini, Bu. Masa nggak percaya sama pelanggan tetapnya, ih." Bu Jum terkekeh.

Belum sepenuhnya nasi kuning ia lahap, dari jarak yang cukup jauh, terdengar suara manusia berteriak terengah. Zara tidak tahu siapa dia. Sepertinya jika laki-laki itu datang pun bukan untuknya. Lagi pula, pagi ini ia tidak sarapan sendirian di warung.

"Mbak! Mbak! Mbak yang tadi!" Tahu-tahu, manusia itu sudah berada di hadapannya. Napasnya terengah. Padahal jarak dari kampus ke warung Bu Jum tidaklah terlalu jauh.

"Kenapa, lo?" tanya Zara.

"Mbak, apa Mbak tidak kehilangan sesuatu?"

"Nggak, kok. Perasaan lo aja kali."

"Tapi di KTP ini tertulis nama Zara. Kebetulan fotonya juga mirip banget sama Mbak."

"Itu kan ... woi! Mana dompet gue?"

"Sabar, Mbak. Ini mau aku kembalikan. Lain kali harus hati-hati, ya."

"Ya udah, makasih."

"Sama-sama, Mbak. Kalau begitu, aku pamit ke kampus lagi."

Padahal baru satu langkah laki-laki itu ambil untuk pergi, tetapi sebuah suara paling memalukan pada semesta bergaung nyaring di antara tatap-tatap manusia yang ingin menertawakan.

"Suara apaan tuh?" tanya Zara.

"Hehehe ...." Laki-laki itu melirik.

"Itu lo?"

"Ah, aku nggak apa-apa kok."

"Lo lapar?"

Laki-laki itu tidak menjawab dan tersenyum kecil.

"Duduk!"

"Nggak apa-apa, Mbak?"

"Anggap aja ucapan terima kasih gue."

"Ah, baiklah."

"Bu, pesan satu porsi lagi, ya," ujar Zara.

"Jadi malu aku."

"Berisik, ah! Nama lo siapa?"

"Aku Dima, Mbak."

"Nggak usah panggil gue, Mbak. Lo udah tahu nama gue lagian."

"Iya, Zara."

***

Ada dua simpangan yang pertemuannya tidak pernah disemogakan. Harapan-harapan yang dilangitkan, tetapi tidak pernah sampai di depan pintu para pendosa.

Rintihan merdu yang saling menolak, di antara penerimaan yang rapuh, perlahan saling meninggalkan mencari-cari tempat agar kepulangan bisa terlelap dalam tidurnya.

Mereka menjadi milik tanya. Pada diri sendiri yang gelap akan kepercayaan, meraung-raung meminta sebuah penantian paling manis. Semesta-semesta. Sampaikan kutukannya. Pada perjalanan pertamanya, kakinya sudah melangkah terlalu jauh seribu kali dari jujurnya.




Hope you enjooooooy gaeeees.
See you soon, muach 😚

sudah, istirahatlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang