Obrolan Malam Sebelumnya

487 79 375
                                    

ada manusia
dengan rasa-rasanya
yang kabur itu
tersenyum kepada sang rembulan
yang sedang menjaga seorang
gadis dari kehampaannya

ia tetap menunggu
dosa-dosa yang menyesal
sampai tidak tidur


















Manusia berbicara adalah untuk kepercayaan. Kita yang seharusnya damai bersama sebuah kelompok, nyata-nyata tidak pernah bisa mendengar dan menjadi egois. Pada malamnya, ia ragu. Sebenarnya, siapa yang paling bisa dipercaya di dalam semesta? Sedang yang paling tahu apa pun tentang kita mudah sekali berkhianat, atau diri sendiri yang kesepian itu?

"Jadi, apa yang membuatmu seperti ini?" tanya Dima.

"Sebenarnya dari dulu gue nggak pernah tenang, Dim. Gue nggak pernah tuh ngerasain kayak gimana rasanya damai itu," jawab Siska.

"Terus, ini adalah rute pelarian kamu? Kamu memang pengecut, Siska. Tapi tidak apa-apa. Karena kamu tidak sendiri."

"Ya, lo tahu sendirilah gimana kalau seorang anak lahir dari rahim ibunya tanpa ayah? Padahal, menurut apa yang gue dengar dari orang-orang, saat itu posisinya nyokap gue udah dijodohin. Tapi dia masih berhubungan sama cowok lain. Gue nggak ngerti lagi, sih. Dan ya, imbasnya sama gue."

"Terus, di mana ibu kamu?"

"Dia mati. Bunuh diri."

Dima tidak menjawab. Di bawah hangat relung selimut, ia membawa gadis yang sedikit lebih tua dari dirinya itu ke dalam sebuah pelukan. Akan tetapi, ia tersenyum. Namun kali ini bukan untuk kesenangannya, melainkan untuk gadis yang selalu kehilangan itu. Bukan pula demi ketenangannya, tetapi untuk ketetapan yang sudah digariskan oleh semesta kepada gadis itu. Sial, menyedihkan sekali.

"Apa kamu mau mendengar sedikit ceritaku?"

"Kenapa nggak?"

"Baiklah," ujar Dima. Lalu melanjutkan, "dulu, ada seorang anak laki-laki yang tidak tahu. Kenapa dia ada pada semesta, kenapa ia bisa diterima oleh dunia, padahal ia tidak pernah meminta diturunkan dari surga. Sepertinya semesta memang tidak rela melihatnya bahagia. Makanya dia dikirim ke dunia. Katanya agar dia tahu diri dan berjuang. "

"Dia sama sepertimu. Ketetapannya tidaklah baik. Dia lahir di antara sepasang laki-laki dan perempuan yang tidak harmonis. Baik di surga, maupun di dunia. Ketetapannya tidak pernah berubah. Keberadaannya tidak pernah dianggap ada. Lalu pada akhirnya, ia memilih jalannya sendiri. Menjadi seorang pengutuk dunia dan surga. Perjalanannya selalu saja sendiri. Dia tidak pernah diberi teman ataupun peliharaan. Tujuannya benar-benar kosong. Sampai nanti ia bertemu dengan kepulangnya, sebagai seorang pendosa, ia berdoa. Semoga hatinya bisa tenang."

Dima menyudahi ceritanya lalu mengembuskan napas panjang. Tidak ada jawaban atau respons apa pun dari Siska. Karena setelah ia lihat, gadis itu sudah tertidur. Tenang sekali.

Kemudian Dima bangkit dari tempat tidur dan memakai kembali pakaiannya. Ia harap, Hardi belum pulang. Dima melangkahkan kakinya menuju meja bar, yang untungnya laki-laki itu masih ada di sana. Hanya saja Hardi sudah sangat mabuk.

"Lah, pangeran udahan main kuda-kudaannya?"

"Berisik, ah."

"Jam berapa sekarang, Dim?" tanya Hardi.

"Jam tiga pagi."

"Pantesan gue ngantuk banget." Kemudian kepala Hardi jatuh di atas pangkuan meja. Laki-laki itu sudah terlalu mabuk bahkan untuk mengangkat sepasang kelopak matanya.

"Mas, tolong tidurkan dia. Di mana aja terserah. Aku mau pulang." Dima mengambil kunci motor Hardi dari saku belakang celana laki-laki itu kemudian melangkahkan kakinya keluar dari tempat itu. "Tolong jaga baik-baik, ya, Mas. Soalnya dia satu-satunya temanku."

sudah, istirahatlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang