Yang Saling Memaafkan

242 37 164
                                    

lapang
ia sudah pulang

hatinya
tenang
senyum
terbilang

yang memaafkan
yang dimaafkan
kita,
dan semesta








Semesta sudah semakin pekat. Di antara mereka masih ada hening. Pikiran-pikiran yang tidak tahu itu membawa dua hati menuju keputusan yang pernah ragu. Namun, sekarang tidak lagi. Ketetapan yang tidak menyenangkan sudah bukan lagi untuk kita. Penerimaan yang selalu ia semogakan, sepertinya sudah memiliki tempat untuk pulang.

Hatinya lapang. Pada akhirnya, ia bisa menjadi Dima yang seutuhnya. Sebagian dari dirinya akan tinggal sebagai kenangan. Bagaimana ketetapan yang tidak baik itu selalu tersenyum padanya, bagaimana ketetapan yang tidak baik itu menyembunyikan lapang di hatinya, semoga suatu saat nanti, perjalanan ini bisa menjadi cerita yang menyenangkan.

"Zara," panggil Dima.

"Apa?" jawabnya singkat.

"Sebenarnya masih ada lagi yang belum aku katakan."

"Lagi?" Zara mengembuskan napas panjang. Ia kira dengan semua pengakuan dosa atas Dima, semuanya akan berakhir.

"Sebenarnya aku hanya malu."

"Masih punya malu? Setelah semua ini?"

"Soalnya ini beda."

"Beda apanya? Masih ada lagi kebohongan yang kamu sembunyikan?"

"Ya."

Akan tetapi, Zara sudah tidak terkejut lagi. Menurutnya, Dima hanyalah laki-laki yang terlambat jujur. Untuk dirinya dan manusia.

"Apa itu?" tanyanya.

"Sebenarnya, pertemuan pertama kita bukan tanpa sebab. Dompetmu tidak jatuh ketika aku menabrakmu. Dan sejak itulah aku memantapkan pilihan bahwa aku tertarik padamu. Aku harus memilikimu. Makanya aku tidak membiarkanmu pergi dan menyeretmu untuk masuk ke dalam kehidupanku."

"Jadi, apa kamu mau menjelaskannya sekarang? Kenapa harus aku?"

"Aku rasa ini adalah waktu yang tepat untuk kamu mengetahui segalanya. Lalu untuk masalah dompet, aku sengaja mengambilnya dari saku belakangmu."

"Lupakan masalah dompet. Aku hanya ingin tahu kenapa kamu memilih aku dan bukan orang lain?"

"Baiklah." Dima mengembuskan napas perlahan. "Itu karena aku melihat kamu sama tidak bahagianya denganku. Makanya aku memilih kamu untuk masuk ke dalam kehidupanku. Aku tidak ingin memilih orang yang sudah bahagia dengan jalannya. Aku ingin memilih orang yang rela jatuh bersamaku demi memperjuangkan kebahagiaan itu sendiri. Aku tidak ingin menumpang bahagia. Aku ingin hidup bersama orang yang ingin memperjuangkan kebahagiaan sama-sama. Aku menyerah, Zara. Aku sudah menyerah dari awal kepadamu. Hanya saja, untuk mengungkapkan ini kepadamu, aku butuh sedikit waktu tanpa bagian lain dari diriku. Karena aku emang secengeng itu."

"A-aku tidak tahu harus berkata apa, Dima," ujarnya pelan.

"Aku selalu merasakan banyak kesamaan denganmu. Hanya saja, kamu tidak menyembunyikan perasaanmu jika kamu memang tidak bahagia. Berbeda denganku yang rela melakukan apa pun dan berbohong."

"Apa aku kelihatan sejujur itu di hadapanmu, Dima?"

"Ya. Dan aku pikir, kamu adalah satu-satunya orang yang bisa menerima keberadaanku."

"Kenapa kamu bisa seyakin itu?"

"Karena kamu sudah bilang akan percaya kepadaku."

"Sial. Ternyata aku sudah dijebak lagi."

sudah, istirahatlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang