Pelarian Ketiga

202 40 158
                                    

baik dan buruk
adalah penilaian
dari manusia
yang subjektif

jangan terlalu keras dengan hati
semesta sudah terlalu gelap



















Semesta seperti sudah menjadi miliknya. Hari ini adalah hari kedua dalam rencana pelariannya. Beberapa jam setelah melanjutkan perjalanan, Dima dan Zara sampai di sebuah daerah dengan dataran tinggi yang sejuk dan menenangkan.

Katanya, gadis itu ingin sekali mendaki. Itulah alasan kenapa Dima menghentikan perjalanannya di depan sebuah toko sewa alat mendaki yang ada di daerah ini.

"Mas, saya mau tanya, boleh?" tanya Dima kepada seorang penjaga toko.

"Monggo, ada apa memangnya, Mas?"

"Apa pendakian ke Gunung Prau bisa ditempuh oleh dua orang saja, Mas?"

"Sebetulnya bisa-bisa saja, Mas. Tapi apa sebelumnya Mas sudah ada pengelaman mendaki?"

"Saya baru pertama kali."

"Saya sarankan kalau Mas belum pernah mendaki sebelumnya, Mas bisa ikut rombongan orang lain saja, Mas."

"Ah, bisa begitu, ya?"

"Tentu saja. Mas tinggal mencari rombongan saja di sana nanti."

"Hmm ... baiklah. Terima kasih, Mas. Kalau begitu, saya dan teman saya pamit dulu. Nanti akan saya kembalikan peralatannya ke sini sesuai jadwal, ya."

Penjaga toko itu tersenyum. "Siap, Mas. Semoga sukses."

Zara dan Dima kembali ke dalam mobil lalu melanjutkan perjalanannya. Masih butuh beberapa kilometer lagi untuk mencapai tempat pendakian. Pada pukul 16.30, Dima dan Zara baru bisa sampai di basecamp sebelum memulai pendakian. Di sana sedikit ramai. Banyak orang yang terlihat seperti sedang bersiap-siap atau malah sudah mau pulang.

"Zara, kamu tunggu di sini sebentar."

"Kamu mau ke mana, Dima?"

"Aku tidak akan lama, kok."

Zara lihat, laki-laki itu mulai melangkah menjauhi dirinya dan menghampiri sebuah kelompok pendaki dengan empat orang anggota dan semuanya adalah laki-laki.

"Permisi, Mas-Mas,"

Keempat laki-laki itu menoleh ke arah Dima. Akan tetapi, hanya satu yang menyahut. "Iya, ada perlu apa, ya, Mas?"

"Saya mau bertanya. Apa Mas-Mas di sini baru mau mulai mendaki atau sudah turun gunung, ya?"

"Ah, kami baru naik. Kenapa memangnya?"

"Anu ... begini ...." Dengan sedikit malu-malu, pada akhirnya ia menceritakan semuanya yang terjadi kepada empat orang laki-laki itu. Mengenai teman perempuannya yang sedang dalam perjalanan tiba-tiba saja ingin pergi mendaki, dan ia yang sudah akan berusaha mengabulkan permintaan teman perempuannya itu, tidak ada pilihan lain selain menuruti apa pun kemauannya.

Ia lihat, empat orang laki-laki itu sedikit menahan tawanya. Ia mafhum, mungkin bagi sebagian orang ceritanya terdengar seperti lelucon. Namun, baginya ini sudah seperti pembuktian.

"Sebenarnya kami tidak masalah, kok. Tapi ...." Sebelum pemuda itu menyelesaikan suaranya, tiba-tiba Dima memotong.

"Tidak apa-apa, Mas. Jika ada apa-apa, semua tanggung jawab biar saya yang pegang. Saya hanya ingin bergabung dalam perjalanan saja."

"Baiklah. Kalau begitu, bawalah teman perempuamu itu dan kenalkan pada kami."

Dima tersenyum. "Baik, Mas. Saya sangat berterima kasih." Kemudian ia melambaikan tangannya memanggil Zara.

sudah, istirahatlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang