manusia
kita
kata
percayayang kusut
seperti kertasBarang kali ada sebuah perasaan, pada semesta menjelang malam dan dua pasang mata saling terbuka bersitatap. Lalu mengutuk. Kepada para manusia agung yang besar dan munafik, pendosa paling hina daripada kami yang sudah kehilangan arah.
Mereka kejam. Mereka perenggut kebahagian manusia kecil seperti kami. Dosa yang kami miliki adalah segelintir dari pencarian untuk menemukan tempat tanpa keterasingan. Mereka tidak tahu. Mereka bahkan tidak pernah tahu.
"Ng ...." Suara erangan wanita berhasil membuatnya terbangun dan terkejut.
"Argh ... siapa lo?" tanya laki-laki itu.
Wanita itu pun sama terkejutnya lalu sedikit memundurkan tubuhnya yang masih polos dibalut selimut.
"Lah, lo siapa? Kenapa lo tidur di samping gue? Mana Dima?"
"Hah, Dima?"
Semesta tiba-tiba saja kehilangan suaranya. Di antara dua manusia ini hanya ada bisu dan kebingungan. Seolah-olah ada sebuah potongan dalam perjalanannya yang hilang. Setelah hening beberapa saat, satu persatu pecahan tapak tilas mengendap dan saling terhubung membentuk sebuah ingatan baru yang jelas. Bahwa satu laki-laki sialan itu sudah pergi.
"Si Anjing Dima!"
Siska terperangah. Wanita itu sedikit terkejut dengan umpatan Hardi yang tinggi.
"Ah, maaf. Lo pasti kaget, ya?" Hardi mengembuskan napas panjang. "Cih ... lagian kenapa lo duduknya jauh banget dari gue?"
"Ya gu-gue malulah. Lo kan cowok," ujar Siska.
"Dih, main kuda-kudaan sama si Bangsat aja kagak malu."
"I-itu beda urusannya."
"Terserah lo."
Hardi menarik napas dalam. Ia sudah tahu jika Dima memang sudah sebangsat itu. Sejak pertama kali ia berbincang dengannya, laki-laki itu tidak pernah mengenal ragu sama sekali. Hardi tersenyum. Ia hanya tidak menyangka jika seseorang seperti Hardi pun kena tingkah usilnya. Dima adalah satu-satunya manusia paling luar biasa yang pernah ia kenal.
"Sialan, mana kunci motor gue diambil lagi," ucapnya setelah meraba semua pakaiannya. Dompetnya masih ada. Hanya kunci motornya saja yang hilang dari saku celananya.
"Lo temannya si Dima, kan? Siapa nama lo?" tanya Siska.
"Gue Hardi."
"Gue Siska."
Hardi tidak menjawab lagi. Laki-laki itu malah bersiul panjang seraya pandangannya menyisir tubuh Siska dari atas sampai bawah. Benar-benar sempurna untuk ditiduri. Sialan, si Bangsat itu beruntung sekali.
"Hei, mata lo!"
"Kenapa sama mata gue?"
"Gak usah genit!"
"Tolong, ini bukan salah gue. Mau sampai kapan lo pamer bercak merah bekas si Anjing Dima itu? Apa jangan-jangan lo mau nambah dari gue juga?"
"Gila! Capek gue."
Hardi menatap Siska jahil. "Berarti, kalau nggak capek, boleh gitu?"
"Sialan!" Hardi hanya tertawa.
Kemudian Siska meraih pakaian dan tasnya lalu bergegas ke kamar mandi yang ada di sana. Cukup lama. Sukses membuat Hardi kesal kerena harus menunggu. Lalu beberapa menit kemudian Siska sudah kembali dengan dress merah dan wajahnya yang sedikit panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
sudah, istirahatlah
RomanceSemesta sudah sakit. Yang membuat hati manusia sarat akan penerimaan, penolakan akan kehilangan, lalu sedikit kepulangan yang selalu kita nanti-nantikan, berjuanglah. Kepada sepasang kaki yang terlihat sudah sangat lelah berlari, sebentar lagi. Seb...