Hanya kurang dari dua menit sebelum bel pulang berbunyi. Namun guru masih menerangkan panjang lebar tentang rumus-rumus bangun datar dan bangun ruang. Terkadang aku membenci banyak sistem di sekolah ini, terutama tentang mereka memberikan pelajaran matematika di akhir jam pelajaran.Dengan mata yang terus menatap jam dinding, dengan telinga yang terus ku fokuskan untuk menunggu suara bel berbunyi. Ya, tidak peduli dengan pelajarannya, lagi pula sekeras apapun aku mencoba belajar, nilai matematikaku tidak akan membaik juga.
"Kriiiing!" Akhirnya bel pulang berbunyi.
Langsung ku tutup buku tulis dan buku paket matematikaku dan memasukkannya kedalam tas. Namun, guru itu masih saja menerangkan. Apakah ia tidak mendengar bel baru saja berbunyi?
"Dan siapkan catatan, tugas hari ini." Kata guru itu.
Tolonglah, aku benar-benar harus pergi. Mengapa malah ada tugas saat ini?
"Tugasnya di kumpulkan minggu depan."
Akhirnya guru itu meninggalkan ruang kelas sepuluh menit setelah bel pulang berbunyi. Setelah Bu Guru keluar, aku pun mengekorinya keluar.
"Risa?" Tanya seseorang.
Aku membalikkan badanku dan mendapati beberapa orang memegang sapu memanggilku. Aku tau nama mereka namun aku tidak peduli. Aku tidak berteman dengan siapapun bahkan meskipun mereka teman sekelasku.
"Kamu piket hari ini, kan?" Tanya gadis berambut panjang, Sindi.
Aku lupa. Hari ini memang piketku, dan tadi pagi aku tidak membersihkan kelas karena terlambat, jadi aku harus membersihkan kelas sepulang sekolah. Sial sekali, padahal aku sedang terburu-buru.
Aku langsung mengambil sapu dan menyapu satu deret bangku dengan tergesa-gesa. Mungkin masih ada sisa kotoran yang tidak tersapu, namun siapa peduli? Besok masih ada regu piket yang akan menyapu pagi hari sebelum kelas dimulai.
Selesai kurang dari sepuluh menit. Aku langsung bergegas keluar kelas. Masih ada sisa sepuluh menit lagi sebelum perpustakaan tutup. Aku harus mengembalikan buku yang ku pinjam seminggu yang lalu, hari ini hari terakhir pengembalian. Jika terlambat, aku akan kena denda.
Aku berlarian menuju perpustakaan yang berada di area belakang sekolah, sedangkan kelasku berada di lantai dua area depan sekolah. Jauh memang, itu sebabnya aku terburu-buru. Dengan nafas terengah-engah aku akhirnya sampai di perpustakaan, untungnya masih buka.
"Hello Mr. Zain?" Sapaku.
"Hella hello, mana bukunya?" Bentak Pak Zain, penjaga perpustakaan.
Aku mengeluarkan novel Harry Potter yang ku baca kemudian memberikannya pada Pak Zain. Kemudian ia mendata buku tersebut. Aku meninggalkannya, berjalan menuju rak buku yang berisikan novel terjemahan. Aku mencari lanjutan dari buku yang baru ku pinjam tadi. Namun anehnya, buku yang ku cari tidak ada di rak. Aku langsung berlari menuju meja Pak Zain, ia sedang mendata buku.
"Pak kenapa Harry Potter yang Prisoner of Azkabaan nggak ada di rak?" Tanyaku.
"Arisa, bukannya kamu udah kelas sembilan? Harusnya pinjem buku pelajaran bukan Harry Potter!"
Kemudian seorang siswa laki-laki masuk ke dalam perpustakaan ini. Aku menyadari buku yang ku cari sedang dipegang anak laki-laki itu. Aku langsung mendekatinya untuk menanyakan apakah ia mau mengembalikan atau bukan.
"Aku baru mau balikin ini." Katanya.
"Kalo gitu aku boleh pinjem 'kan?"
"Nggak." Bukan anak itu yang mengelak, ini Pak Zain, "Arisa, kamu udah kelas sembilan."
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTQUAKE
Teen FictionLet me tell you about anxiety. Rasa takut yang menghantuimu bahkan saat bernafas atau membuka mata. Lalu mengapa aku harus memiliki itu? Dan bagaimana aku berupaya menghilangkannya. Cinta? Mampukah cinta menghilangkan kecemasan itu?