Kak Nana sedang menertawaiku dengan sangat terbahak-bahak. Aku harap ia tersedak. Tentu karena penampilanku saat ini. Rambutku dikepang dua, dia bilang aku mirip kuda lumping.
"Udah sana berangkat, nanti pada telat!" Bentak mama.
Aku langsung berjalan cepat keluar diikuti Kak Nana yang berjalan terseok-seok memegangi perutnya yang kaku karena kebanyakan tertawa. Aku menatapnya tajam sehingga saat ia melihatku ia langsung terdiam, tawanya terhenti. Ia mempercepat langkah kakinya dan langsung memakai helmnya.
Kamipun berangkat menuju sekolah. Kini kami menuju gedung sekolah yang sama. Sampai di sekolah, Kak Nana langsung memarkirkan motornya di parkiran siswa. Aku melepas helm dan jaketku, kemudian memakai perlengkapan MOPD seperti papan nama yang hanya terdiri dari tiga huruf, RIS.
"Republik Indonesia Serikat." Kata Kak Nana sebelum tertawa lagi, "kamu mau demo?"
"Diem ya, kak!"
Aku berjalan meninggalkannya.
"Perlu anter nggak?" Tanya Kak Nana.
"Nggak usah." Jawabku.
Kak Nana tetap mengekoriku, ia berjalan dengan langkah yang sama denganku di belakang. Padahal sudah kubilang tidak perlu mengantarku.
"Nggak usah dianter, aku bukan anak TK yang nggak tau harus kemana!"
"Siapa yang nganter, oneng? Ini kakak mau ke kelas, kelas kakak disana." Tunjuknya pada koridor didepan, "kamu ke lapangan upacara."
"Iya tau!"
Aku berjalan cepat meninggalkan Kak Nana menuju lapangan. Disana sudah berkumpul siswa-siswa yang memakai sragam SMP dengan papan nama masing-masing. Sesuai intruksi yang berambut panjang dikepang dua, yang berambut pendek di kucir dua. Aku berjalan dengan langkah yang melambat, sedikit ada ragu dan ketakutan berjalan bersamaku seiring aku semakin dekat dengan kerumunan.
Dan benar saja, tatap mata yang seolah tertuju padaku. Satu persatu siswa disini mengalihkan padangannya kepadaku. Merasa begitu diperhatikan, akupun menundukkan kepalaku menghindari pandangan mereka.
Hingga tanpa sadar aku menubruk seseorang.
"Maaf." Kataku dengan cepat meninggalkan orang itu.
"Riris?" Sapanya.
Aku menoleh pada seseorang yang baru saja aku tabrak. Dan sosok itu yang membuat jantungku tiba-tiba berdegup kencang dan kakiku terasa lemas. Hampir aku jatuh jika aku tidak mempertahankan kakiku.
"Brandon?" Sapaku.
Ia tersenyum padaku dan berjalan dengan, kerennya, ke arahku. Jika aku belum sarapan, mungkin aku sudah jatuh karena tidak bisa menguatkan kakiku.
"Hai." Sapanya lagi.
"Hai." Jawabku canggung.
"You look so cute."
Terimakasih, Brandon. Kamu membuatku hilang kesadaran. Bagaimana bisa ia mengatakan hal itu dengan tersenyum manis? Berharap saja ia tidak bisa mendengar degup jantungku.
"Baik siswa baru dimohon berkumpul sesuai kelasnya. Pembagian kelas akan dibacakan oleh Pembina OSIS." Kata ketua OSIS.
Aku berdiri disebelah Brandon, berada di barisan yang kami tidak tahu siapapun. Pembagian kelas dimulai dari kelas IPA. Satu persatu nama siswa terpanggil dan masuk ke kelas yang disebutkan. Hingga nama Brandon dipanggil dan iapun meninggalkanku untuk bergabung dengan kelasnya.
Tentu saja Brandon memilih kelas IPA, apa yang aku harapkan? Sekelas dengannya? Tidak mungkin.
Kemudian pembagian kelas IPS dimulai. Aku menunggu namaku dipanggil, setelah beberapa puluh nama.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTQUAKE
Teen FictionLet me tell you about anxiety. Rasa takut yang menghantuimu bahkan saat bernafas atau membuka mata. Lalu mengapa aku harus memiliki itu? Dan bagaimana aku berupaya menghilangkannya. Cinta? Mampukah cinta menghilangkan kecemasan itu?