Pihak sekolah kemudian menelpon orang tuaku. Dan papa datang menjemputku ke sekolah mendengar aku hampir pingsan dan dibawa ke UKS. Kevin berlari ke kelas membereskan semua barang-barangku. Dan Nisa membantuku berjalan, memapahku hingga aku bertemu papa dan gantian papa yang memapahku berjalan. Kakiku masih lemas sehingga rasanya aku ingin pingsan saja.
Akupun pulang bersama papa. Papa tidak banyak mengomel maupun bertanya. Bahkan sepertinya sedari tadi ia tidak mengatakan apapun. Aku duduk di kursi depan samping papa. Dengan pandangan kosong dan otak yang hanya fokus mendengar detak jantungku yang masih kencang terdengar.
"Mau ke rumah sakit?" Tanya papa.
Aku menggeleng.
"Ke klinik kakaknya Aldo?"
Aku terdiam sejenak sebelum menganggukkan kepala. Mungkin saat ini aku harus menemui Kak Aira dulu. Papapun memutar balik mobilnya dan pergi menuju klinik tempat Kak Aira bekerja.
Sampai di klinik, Kak Aira dengan sigap membawaku ke ruangannya dan memeriksa keadaanku. Ia memeriksa detak jantungku dan bahkan melakukan tensi.
"Riris bisa denger kakak, nggak?" Tanya Kak Aira.
Aku mengangguk.
"Bisa nggak Riris cerita ke kakak kenapa?"
Aku terdiam menundukkan pandanganku sambil bergeleng.
"Kata temennya tadi dia hampir pingsan terus dibawa ke UKS." Jawab papa.
"Kenapa bisa gitu, pak?" Tanya Kak Aira.
Papa menggeleng. Papa tidak tahu penyebab aku hampir pingsan tadi adalah karena kedua sahabatku membentakku. Mengingat bagaiman Gyna dan Marsya membentakku tadi, aku mulai menangis. Kak Ira kemudian datang memelukku dan mengelus-elus punggungku. Hingga aku merasa lebih baik dan berhenti menangis, Kak Aira memberikanku tisu untuk menghapus air mataku.
"Bapak sudah tahu kan kalo Riris punya gangguan kecemasan yang biasa disebut anxiety disorder?" Tanya Kak Aira.
Papa menggeleng, "baru kemarin sore dia bilang kalo dia punya gangguan anxiety. Itu aja karena keceplosan, Riris nggak ngasih tahu ke saya maupun mamanya."
"Riris bilang mau kasih tahu mama sama papa sendiri, jadi Kak Ira nggak kasih tahu mereka." Kata Kak Aira.
"Kenapa kamu nggak kasih tahu papa sama mama?" Tanya papa.
"Aku takut." Kataku, "bahkan kalo aku sakit fisik aja mama marah. Gimana kalo mama tau mental aku yang sakit? Apa mama masih mau nganggep aku anaknya?"
"Riris! Kok kamu ngomong gitu?" Bentak papa.
"Coba kita periksa ke psikiatri aja ya. Kayanya lebih tepat ke psikiatri untuk saat ini." Kata Kak Aira.
"Kenapa nggak sama Ira aja?" Tanya papa.
"Biar Riris bisa dikasih obat. Kayanya kalo terapi untuk saat ini bakal ganggu kesehariannya apalagi Riris masih sekolah."
"Yaudah kalo gitu, saya ikut aja." Kata papa.
"Saya mau bicara berdua dulu sama Riris. Bapak bisa menunggu di kursi tunggu di luar. Mohon maaf ya, pak."
"Oh iya silakan." Papapun beranjak dan meninggalkan kami berdua.
"Masih tentang Reva?" Tanya Kak Aira.
Aku menggeleng, rasanya air mataku mengucur keluar lagi, "temenku namanya Gyna sama Marsya, selama ini aku nggak temenan sama siapapun, cuma sama mereka. Dan mereka tadi bentak aku. Dulu Gyna sama Marsya suka sama Brandon, temenku waktu SMP. Aku juga suka sama Brandon waktu itu, tapi aku nggak berani bilang ke mereka. Dan pas Brandon jadian sama Marsya aku udah berjuang buat lupain Brandon. Sampe akhirnya aku pacaran sama Kak Reva, dan kemarin aku sama Brandon ngobrol di halte. Brandon ngomong kalo dulu suka sama aku, dan aku juga bilang aku juga suka sama dia dulu. Kayanya mereka denger, dan tadi mereka bentak aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTQUAKE
Teen FictionLet me tell you about anxiety. Rasa takut yang menghantuimu bahkan saat bernafas atau membuka mata. Lalu mengapa aku harus memiliki itu? Dan bagaimana aku berupaya menghilangkannya. Cinta? Mampukah cinta menghilangkan kecemasan itu?