9.2 Kehilangan Dan Kerinduan

4.2K 938 73
                                    

Ternyata apa yang Violet katakan benar adanya. Tidak perlu waktu lama bagi Muti untuk menyadari bahwa lubang itu memang ada.

Kepergian Damar, mau tidak mau, memang membuat semuanya berubah. Dan bagi Muti yang sudah begitu terbiasa dengan Damar di sampingnya, ini terasa begitu menyesakkan. Bahkan Nero pun tidak bisa menggantikan keberadaan Damar di sisinya.

Hubungan mereka kini bahkan lebih buruk daripada sebelumnya. Jika biasanya Muti memilih diam dan mengalah, kini ia berani melawan apa yang Nero perintahkan untuknya.

Dan tentu saja hal itu membuat mereka semakin sering bertengkar. Rasanya Muti ingin mengakhiri hubungan mereka. Oh, jika kalian berpikir Muti tidak pernah meminta itu pada Nero, kalian salah.

Tidak hanya sekali. Sudah berkali-kali Muti berkata ingin mengakhiri hubungan mereka, tetapi Nero selalu menolaknya. Dan setiap Muti bertanya kenapa, cowok itu tidak pernah menjawab dan memilih untuk pergi. Entah apa maunya cowok itu.

Muti menghela napas lelah dan meraih tasnya. Ia malas sekali pergi ke sekolah pagi ini. Sekolah begitu berbeda tanpa Damar. Ia belum menghubungi Damar lagi semenjak cowok itu menelepon terakhir kali.

Bukan karena ia masih marah. Bukan itu. Muti menyadari bahwa sekesal apapun, ia tidak bisa marah pada Damar terlalu lama. Ia hanya tidak ingin menangis ketika mendengar suara Damar.

Selama ini, Damar selalu menghubunginya ataupun mengirimi Muti pesan. Namun, Muti memilih untuk mengabaikannya. Ini lebih baik baginya juga bagi Damar.

Muti berharap ia bisa memiliki satu hari saja lebih lama bersama Damar seandainya ia tahu cowok itu akan pergi. Ia ingin bersama cowok tengil itu sedikit lebih lama. Masih banyak hal yang ingin ia lakukan dengan Damar dan juga banyak hal yang ingin Muti ceritakan.

Tentang jenuhnya ia dengan Nero. Tentang takutnya Muti akan masa depannya karena ia tidak sepandai Bintang dan Langit. Juga betapa ia berterima kasih karena Damar selalu ada untuknya selama ini.

"Kamu kenapa sih, Dek? Dari tadi hela napas terus?"

Muti menatap Bintang dan menggeleng lalu meraih helmnya. Tidak memiliki saudara perempuan membuatnya tidak pernah curhat tentang masalah-masalahnya dengan orang rumah. Bukan karena ia tidak dekat dengan Bintang, Muti hanya merasa tidak nyaman menceritakan hal seperti itu.

Dengan Mama? Oh, itu sama saja bunuh diri. Mama akan menceritakan semua pada Ayah dan saudaranya.

"Kangen Damar ya?"

"Kakak sok tahu," jawabnya pendek sambil naik ke motor Bintang.

"Kalo emang kangen, nggak usah sok nyuekin dia deh. Emang apa susahnya sih bales pesen?"

"Dia WA kakak?"

Bintang hanya mengangkat bahunya tanpa menjawab pertanyaan Muti. Semenjak Tante Violet sering ke rumah, Bintang menjadi lebih dekat dengan Damar dan keluarga Widjaya lainnya.

"Atau Tante Violet ya ngadu ke kakak?"

Bintang tertawa dari balik helmnya. "Kakak jadi menantunya Bunda Vio lucu kali ya, Dek?"

Muti mencubit pinggang kakaknya hingga Bintang kembali tertawa. Bunda Vio? Sejak kapan Bintang mengganti panggilannya pada Violet?

"Nggak usah mimpi ketinggian. Mereka Widjaya, Kak! Widjaya!"

"Damar juga Widjaya."

Muti kembali menghela napas. Sial, dia tidak pernah merindukan seseorang seperti ini. Apalagi orang itu Damar.

Muti tidak pernah mengira akan merasakan kangen yang sedalam ini pada si tengil itu. Dan Muti bersyukur pagi ini Bintang cerewet sekali. Semua hal di jalanan dikomentari. Itu bagus karena Muti butuh pengalihan pikiran.

(Not) An Ugly Duckling (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang