12.2 Pengecut

3.5K 778 76
                                    

"Yakin kamu mau bilang sekarang?"

Pertanyaan itu membuat Damar menoleh pada Erlangga yang duduk di sampingnya. Mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah dari bandara. Ya, Damar memutuskan untuk ikut pulang ke Jakarta dan menemui Muti setelah pembicaraannya dengan Galang beberapa hari lalu. Ia harus mengatakan perasaannya pada gadis itu sebelum ia kehilangan keberanian lagi.

"Damar harus jujur sama Muti, Pa."

"Bagus," kata Erlangga sambil menepuk bahu Damar. "Siap kan dengan semua konsekuensinya?"

Konsekuensi. Bukankah memang setiap tindakan yang kita lakukan memang ada konsekuensinya? Entah itu baik atau buruk dan ia sudah siap dengan itu. Termasuk jika Muti menolaknya.

Ia tidak akan memaksa jika memang gadis itu tidak memiliki perasaan yang sama dengan dirinya. Damar tahu bagaimana Muti pernah jatuh cinta pada Nero, mungkin cowok itu masih ada di hati Muti. Biar bagaimanapun, cowok itu adalah cinta pertama Muti dan cinta pertama tidak pernah bisa dilupakan dengan mudah. Seperti yang terjadi pada dirinya.

"Asal dia nggak menjauh dari Damar, dia nolak pun, Damar akan terima."

"Nak, jika dia menolakmu, dia akan menjauh. Entah berapa lama, dia akan menarik diri darimu. Itu sudah pasti."

"Kenapa bisa begitu? Damar nggak maksa dia buat terima Damar, Pa."

Erlangga tersenyum dan sedikit bergeser untuk membuat Violet yang tengah tertidur di dadanya lebih nyaman.

"Karena dia biasa memiliki kamu sebagai sahabatnya. Hanya sahabatnya, orang yang ia yakini tidak memiliki perasaan apa-apa padanya. Dan kamu tahu semua hal tentang Muti bahkan rahasia terburuknya, seorang gadis tidak suka jika semua keburukannya diketahui oleh orang yang mencintainya."

Damar mendengkus dan memandang keluar jendela mobil. Jalanan sepi karena ini sudah tengah malam. Muti bukan gadis yang seperti itu kan? Namun, jika itu benar-benar terjadi, apa Damar akan sanggup? Apa ia bisa tanpa direcoki Muti dalam hidupnya?

"Muti nggak akan menjauh dari Damar." Bahkan tidak ada keyakinan dalam suaranya itu karena Damar memang tidak yakin. "Papa bikin Damar pesimis tahu nggak sih!" Ia menoleh pada Erlangga dengan cemberut.

Erlangga tertawa. "Papa hanya membicarakan kemungkinannya, Nak."

Damar mengembuskan napas dan berucap dengan lirih, "Damar siap apapun yang terjadi, Pa."

.....

Sudah sejak beberapa jam yang lalu Damar berdiri di seberang rumah Muti. Ia sampai di rumah dan langsung mengambil motornya lalu memacu kendaraan itu ke rumah Muti meskipun Papa menyuruhnya untuk istirahat.

Ia tidak akan bisa tidur sebelum mengatakannya pada Muti dan mendengar jawaban gadis itu. Sekarang sudah pukul enam lebih sedikit, Muti akan berangkat sekolah sebentar lagi. Ia akan menjemput gadis itu dan ...

Sebuah sepeda motor yang sudah dikenalnya, memasuki halaman rumah Muti. Sial, ini bahkan masih terlalu pagi untuk menjemput Muti, kenapa Nero sudah ada di sini??

Pintu rumah terbuka dan Damar bisa melihat Tante Dina membukakan pintu lalu tersenyum ceria mengajak Nero masuk. Setengah bagian hatinya terasa patah saat melihat itu. Tante Dina terlihat sangat menyukai Nero.

Yah, lagipula siapa yang akan menolak saat anaknya memiliki pacar setampan Nero? Meskipun ia sudah mengenal Muti dan keluarganya sejak lama, mereka hanya mengenalnya sebagai sahabat Muti. Tidak lebih. Sedangkan cowok itu memiliki satu nilai yang tidak dimiliki Damar.

Damar menghela napas dan beranjak turun dari jok motor yang sudah didudukinya sejak dini hari itu. Ia tidak akan pergi hanya karena Nero sudah lebih dulu masuk daripada dirinya. Ia melangkah menuju rumah Muti dan mengetuk pintunya pelan. Damar sudah siap jika Tante Dina yang membuka pintunya. Mungkin Tante Dina tidak akan sesenang seperti ketika melihat Nero tadi. Mungkin ...

(Not) An Ugly Duckling (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang