Dari begitu banyak ketidakcocokan Vi dan Esther, ada persamaan di antaranya-memiliki plan yang tersusun sejak awal, sehingga mereka tahu tujuan dan keuntungannya. Begitu cara Vi dan Esther untuk mewujudkan segalanya dengan sempurna.
Dari awal pernikahan, Vi dan Esther telah membuat agenda-agenda selama menikah. Dan keduanya menyepakati adanya makan malam bersama, setidaknya dua kali dalam seminggu. Tujuannya jelas berusaha untuk tetap saling berkomunikasi sebisa mungkin karena mereka adalah pemilik Phoenix Grup dan sama-sama menggeluti di bidang politik.
Di mansion Phoenix, terdapat sebuah taman memiliki gazebo yang dikelilingi danau serta air terjun buatan, menimbulkan gemercik air yang menenangkan pikiran Vi dan Esther saat makan malam.
Vi menyilangkan pisau dan garpu di atas piring kosong "Bagaimana, perjalanan dinas kamu lancar?" tanya Vi formalitas saja. Memandangi Esther yang ada di seberang meja tengah mengiris steik.
"Tentu. Sejauh ini proyek rekonstruksi di Redwood Forest juga berjalan sesuai rencana," jawab Esther santai. Lalu ia melahap potongan steik terakhirnya.
Vi mengeluarkan sapu tangan dari dalam jas hitamnya, memberikan pada Esther yang baru saja selesai makan. Dan Vi mendengar ucapan terima kasih dari Esther, tapi tanpa kata 'love' yang sensual di akhir. Tidak ada kamera, jadi tidak perlu berlagak pasangan romantis.
Untuk sekadar informasi, Vi berpakaian formal bukan bermaksud menganggap momen ini sebagai kencan, melainkan belum sempat mengganti pakaian santai. Sepulang kantor langsung ke taman tatkala mendengar kabar Esther telah pulang perjalanan dinas selama satu bulan. Begitu pun Esther, masih mengenakan tweed merah bermerek Chanel. Tidak ingin melewati makan malam.
Esther mengangkat satu tangan kanan, memanggil seorang pelayan yang berdiri siaga melayani mereka. Ia menyuruh pelayanan untuk menuangkan minuman anggur yang beralkohol ke gelas Vi dan dirinya.
Esther memutar pelan gelasnya."Kudengar, kau akan membangun hotel ke dua Phoenix, sampai mengeksplor beberapa daerah dekat pantai?" tanyanya sangat tenang, namun mengintimidasi.
Lantas Vi pun mengulurkan gelasnya saat Esther mengajaknya bersulang, membuat gelas keduanya berdenting. "Ya, aku memang berniat membangun hotel lagi dengan nuansa liburan. Membuat konsep yang berbeda dari sebelumnya," jelas Vi sebelum akhirnya minuman anggur itu ditenggak dirinya.
"Tapi semua itu masih abu-abu. Karena harus melakukan rapat berkali-kali sebelum membuat keputusan." Secara tidak langsung ia memberitahu jika ia tidak bermaksud menutupi dari Esther, tapi ternyata Esther mengetahuinya lebih cepat dari dugaan Vi.
Esther terdiam, membayangkan rencana Vi jika hal itu terwujud. Ia menyeruput cairan merah kehitaman di gelasnya-menikmati aroma serta rasa asam sepat khas anggur hasil fermentasi.
Sesekali Esther curi-curi kesempatan melirik Vi sedang memantik api-menghidupkan rokok di bibirnya. Esther menyadari, penampilan Vi malam ini cukup berantakan, tidak seperti biasanya. Rambut Vi yang mulai memanjang membuatnya mudah acak-acakan, lalu kancing kemejanya terbuka tiga dari atas, dan dasi yang bertengger dikerahnya pun sengaja dilonggarkan Vi.
Damn! He's so hot!
Tanpa disadari Esther menggigit bibir bagian bawah miliknya, membayangkan tubuhnya berada di pangkuan Vi lalu berciuman begitu intens, sembari jemari nakalnya menarik kasar dasi Vi. Membuka satu per-satu kancing kemejanya-menjamah kulit halus Vi dengan leluasa, bebas, liar.
"Pipi kamu memerah," ungkap Vi bingung. Semakin bingung sebab Esther tiba-tiba tersedak air liurnya sendiri.
Vi sedikit panik, ingin membantu menepuk-nepuk pundak Esther namun dicegah. Esther tetap menyuruh dirinya untuk tetap duduk. Vi menurut.
"Pasti karena kedinginan, ya? Angin malam memang tidak baik, kita harus segera pergi dari sini."
"Kau benar! Aku kedinginan!" Buru-buru Esther bangun dari duduknya hingga hampir terjatuh saat ingin melangkah. Untungnya Vi menahan lengannya, dan tubuhnya kembali stabil.
Vi hanya heran melihat Esther yang seperti salah tingkah, sampai sempoyongan. Oh, mungkin efek alkohol.
Langkah Vi terhenti saat Esther membalikkan tubuhnya, menghadapnya seraya mengacungkan jari telunjuknya ke depan wajah Vi.
"Rencanamu itu luar biasa, aku mendukung penuh. Meskipun begitu, rencanamu tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat melihat persentase penurunan hotel beberapa bulan terakhir. Kau harus mencari cara agar stabil terlebih dulu."
Esther berdecak. "Masa seperti itu saja harus ku beritahu dulu? Bodoh sekali," kata Esther, membuat lawannya membelalakkan mata, tak terima.
Detik itu juga Esther ditarik oleh kedua pelayan pribadinya, menjauh sebisa mungkin dari jangkauan Vi. Jika tidak, maka akan terjadi perang dunia ke-tiga.
Para pelayan itu tidak sanggup apabila terjadi lagi kejadian-kejadian mengerikan di antara majikannya. Seperti Vi yang pernah menodongkan pisau makan ke wajah Esther, atau sebaliknya Esther melempar piring makan pada Vi. Mungkin wajah tampan Vi sekarang hancur jika pelayan tidak melindunginya waktu itu.
Dulu, awal-awal pernikahan sering terjadi perdebatan. Esther si makhluk tidak terima kenyataan Vi suaminya, merasa Vi adalah pembawa sial. Sehingga ia selalu mencari masalah dengan Vi. Sementara Vi dulu mudah tersulut amarah, sulit mengontrol diri.
Saat itu, makan malam seharusnya tenang justru menjadi waktu yang menegangkan. Selalu ada keributan. Meski pun sekarang masih ada saja hal-hal yang diperdebatkan, setidaknya tidak semengerikan tahun-tahun lalu.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
My Demon Husband
RomanceSaling bertukar liur, memberikan sensasi berbeda yang memuaskan. Ciuman yang semakin intens membuat kepala kedua insan itu bergerak berlawanan ke kanan dan kiri untuk memperdalam ciuman. Di dalam bibir kenyal dan merah ini tersimpan nafas panas yang...