Bom Waktu

723 91 21
                                    

Pagi ini Tari sudah siap untuk pergi. Ia sudah rapi dengan mengenakan baju berwarna biru dan jilbab motif bunga-bunga favoritnya—hadiah dari Lala—meski Faisal yang membeli dan memilihkannya. Ia tampak manis dengan gamis itu.

"Kamu sudah rapi, Tari. Mau ke mana?" Yuni yang baru saja datang langsung bertanya.

"Fatan hari ini tampil di acara ulang tahun sekolahnya, Bu. Tari minta izin sebentar untuk pergi menyaksikan Fatan."

Yuni tersenyum, lalu mengangguk. Tidak mungkin ia tak mengizinkan. Ia senang melihat banyak perubahan yang signifikan dari diri perempuan yang ia kenal manja, cengeng dan mudah sekali marah.Mungkin karena dia seorang bungsu dan juga anak perempuan satu-satunya. Tak disangka, dia sekarang lebih dewasa dan menjadi sosok yang penyabar. Caranya bicara pun berbeda, lebih lembut. Ternyata menjadi ibu di usia muda, berhasil mendewasakannya.

"Sampaikan salamku untuk Fatan, ya, Ri," ujar Lala yang dibalas anggukan oleh Tari.

"Kamu pergi sama siapa, Ri?" tanya Lala lagi.

"Aku yang antar, La. Sal, kamu izinin Tari pergi, 'kan?" Adeeva yang baru datang langsung menyambung.

Tari meliriknya yang hanya mengangguk pelan. Sejak tadi dia tidak berkomentar apa pun. Hanya duduk manis di samping ranjang Lala dengan tak lepas menggenggam tangannya.

"Kita pergi sekarang, Ri. Kasihan Afraz di mobil sendiri." Adeeva lekas mengajaknya pergi.

"Aku pergi dulu, Mas. Assalamualaikum!"

Dikecupnya punggung tangan laki-laki yang kini menjadi suaminya. Darahnya berdesir, ada getaran aneh dalam dirinya. Debar jantungnya masih sama seperti saat pertama kali mereka dekat, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Rentang waktu yang cukup panjang. Namun, tidak lantas mengubah segalanya.

Dari dalam mobil, Adeeva mendapati Tari melamun. Raut wajahnya pun terlihat sendu. Harus tetap berada di rumah sakit, membuat Tari tidak memiliki waktu untuk sekadar membeli hadiah untuk Fatan. Padahal sebelumnya dia sudah berniat untuk memberikannya sesuatu sebagai kejutan dan itu yang sedang ia pikirkan.

"Kamu kenapa, Ri?" tanya Adeeva merasa ingin tahu.

Tari sempat terhenyak dan langsung mengubah warna wajahnya. "Tidak, Mbak."

Senyum tipis Tari jelas menunjukkan dia sedang berbohong. Adeeva tahu pasti tentang itu. Namun, ia tak ingin memaksa Tari untuk berkata jujur. Takutnya dia sedang memikirkan Faisal. Adeeva juga sudah cukup membuatnya sedih dengan ikut menyalahkannya. Dia merasa bersalah dengan sikapnya tempo hari.

Di balik kemudinya, Adeeva tak bisa berhenti memikirkan nasib tragis Tari. Dia harus menjadi istri kedua dari mantan kekasihnya dan madu dari sahabatnya sendiri. Ia pun merasa, Tari masih sangat mencintai Faisal. Meski ia tak pernah mengatakannya secara langsung. Sorot matanya tidak pernah bisa berbohong. Memikirkan itu Adeeva turut merasakan sakit yang harus dirasakan oleh perempuan yang duduk di sampingnya.

Hampir lima belas menit perjalanan dari arah rumah sakit menuju sekolahan Fatan. Akhirnya laju mobil berhenti. Tari masih terlihat melamun, ia sampai tidak sadar kalau mereka sudah sampai.

"Ri ... sudah sampai," ujar Adeeva menyadarkannya.

"Kamu duluan sama Afraz, ya. Aku cari parkiran yang kosong dulu," sambungnya lagi.

Lekas Tari turun bersama jagoan kecil Adeeva. Digandengnya bocah kecil adik kesayangan Fatan. Suasana di sekolah sudah sangat ramai. Seluruh bagian sekolah tidak luput dari hiasan pernak-pernik canti dengan warna ceria khas anak-anak. Beberapa hasil karya anak-anak, ikut mempercantik dekorasinya. Tanpa sengaja Tari melihat gambar milik Fatan terpajang di mading. Lagi-lagi sosok ibu dan anak yang ia gambar.

Redupnya Sinar MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang