Kembalinya Masa Lalu

832 95 7
                                    

Hidup itu bukan untuk mengingat masa lalu, tetapi untuk maju dan melangkah ke depan. Roda hidup selalu berputar, tidak berhenti hanya pada satu titik.

🌻🌻🌻

“Ri, aku mau salat Zuhur dulu. Kue ini sudah ada yang pesan. Nanti diambil ke sini. Kalau dia tanya, bilang aku lagi salat, ya.” Adeeva berpesan setelah itu pergi.

“Baik, Mbak.”

Tari lanjutkan pekerjaan menata roti dan kue ke dalam etalase serta lemari pendingin untuk jenis tertentu. Kemudian memisahkan yang sudah tidak layak untuk dijual.

Jeda sepuluh menit, pria berkemeja hitam datang. “Mbak, mau ambil pesanan.”

Seketika Tari terdiam, perlahan menegapkan tubuh. Dia kemudian berbalik dan menelan ludah begitu melihat sosok yang berdiri di hadapan. Pria itu pun mematung—menatap sosok berjilbab moka di depannya—begitu pandangannya beralih dari ponsel.

“Tari ...!” Lirih suara itu menyebutkan namanya.

Perempuan itu tidak merespons, masih bergeming. Setelah sekian lama berpisah, takdir kembali mempertemukan keduanya. Faisal diam-diam mengamati setiap inci dari diri Tari. Perubahan tampak begitu nyata. Tubuhnya jauh lebih kurus. Pipi yang semula chubby, kini menjadi tirus. Wajah itu pun terlihat lelah dengan kantung mata yang pekat terlihat.

Pria yang tubuhnya kini lebih berisi dengan dada yang semakin bidang itu masih diam, hanya memandang lekat ke arah Tari. Membuat debar jantung perempuan tersebut semakin tidak beraturan, bercampur dengan sesak yang menekan di dalam dada.

“Apa kabar, Ri?” Akhirnya Faisal membuka suara.

“Baik. Tunggu sebentar, saya siapkan dulu pesanannya.” Tari lekas berbalik.

“Sepertinya kamu ingin saya cepat-cepat pergi.”

Tubuh ibu satu anak tersebut kembali mematung. Dia memang ingin masa lalunya segera pergi. Karena pertemuan itu berhasil membangunkan kembali ingatan tentang pahitnya perpisahan, serta penyesalan dan semua kesakitan dalam hidupnya.

“Eh, Sal. Kamu sudah datang.” Adeeva akhirnya kembali. “Ri, sudah disiapkan pesanannya?”

“Ini baru mau disiapkan, Mbak.” Tari lekas pergi.

Sembari mengemas kue tersebut, sesekali pandangan perempuan penyuka bunga matahari dan anggrek itu mengarah kepada sosok yang bersama Adeeva. Diam-diam dia memperhatikannya.

Sejenak Tari membayangkan Faisal mendekat dan menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan; mendekapnya erat, sampai sesak di dalam dada hilang dan menenggelamkan rindu yang selama ini selalu datang mengganggu.

Seketika Tari tersadar; langsung mengucap istigfar pelan, kemudian menepis semua pikiran gilanya. Seketika wajah itu memucat, berkeringat dingin. Jari-jarinya gemetaran. Dia berusaha kembali stabilkan napasnya dengan sesekali mengusap dada.

“Ri, ada apa?” Seorang teman datang dengan membawa kotak berisi roti-roti yang baru. Ditaruhnya wadah tersebut di meja.

“Mbak, tolong selesaikan pengemasan kue pesanan temannya Mbak Adeeva, ya.” Tari langsung pergi menuju kamar mandi.

Redupnya Sinar MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang