Wanita Tanpa Suami

1K 99 10
                                    

Kunci hidup bahagia itu adalah syukur dan ikhlas. Ketika kita ikhlas segala beban hidup akan terasa lebih mudah dan ketika kita bersyukur, Allah akan melimpahkan kasih sayang-Nya.
—Mentari Rahayu Kusuma—
🌻🌻🌻

“Awas, Kak Fataaan, mobil aku mau nabrak!” teriak bocah bernama Afraz dengan dramatis.

Lengkungan bulan sabit tersemat di bibir tipis perempuan berjilbab jingga yang duduk—di teras rumah sahabatnya—tidak jauh dari kedua anak laki-laki tersebut. Wajahnya berseri, cerah seperti langit pagi ini. Rentang waktu bergerak begitu cepat. Enam tahun berlalu, hidupnya sudah sedikit membaik usai ditempa kepedihan yang tak berkesudahan.

“Aku senang akhirnya Afraz ada teman juga, Ri.” Suara seorang perempuan mengemuka.

Tari pun menoleh; Adeeva—sahabat baru sekaligus bosnya—duduk di sisi kirinya. Pandangan mereka kembali tertuju kepada dua anak laki-laki yang sejak tadi asyik bermain.

“Aku juga senang, Mbak.” Tari kembali meliriknya dengan senyum. “Semenjak mengenal Afraz, Fatan seperti memiliki adik.”

Ibu satu anak itu kembali menatap Fatan Al Fatih; buah hati yang menjadi pelindung dan pelipur laranya. Tak terasa sudah hampir lima tahun dia hadir, mengisi kekosongan dalam hidupnya.

“Om Cellooo!” Afraz tiba-tiba berteriak, sembari berlari menghampiri seorang pria berpenampilan kasual—mengenakan kaus polo abu dipadankan dengan celana chino.
Pria tiga puluh lima tahun itu menurunkan tubuh, menyambutnya dengan merentangkan tangan. Dalam sekejap tubuh keduanya saling merengkuh.
Marcello Al Gibran, sosok itu begitu hangat kepada Afraz; Fatan memandang cemburu ke arah keduanya. Tak hanya memeluk, pria tersebut berulang kali mendaratkan kecupan di beberapa bagian wajah putra semata wayang Adeeva.

Tari seketika menoleh ke arah putranya. Wajah itu muram. Dia kemudian berjongkok, membelainya dengan penuh cinta. Perempuan bergamis cokelat itu berusaha untuk mengukir senyum, meski kegetiran ia rasakan.

“Ibu sayaaang sekali sama Fatan.” Satu kecupan diberikan ibu satu anak itu untuk menenangkan putranya.

Interaksi keduanya berhasil mencuri perhatian Adeeva dan Cello. Pria tersebut kemudian mendekat; berlutut dan pelan-pelan menarik lembut Fatan dari pelukan sang ibu. Afraz pun turut merapat.

“Fatan sama Afraz tahu tidak, kita mau pergi ke mana hari ini?” Cello bertanya dan anak-anak menggeleng.

“Hari ini kita akan piknik ke Kebun Raya. Kalian sudah siap?”

Air muka Fatan berubah dalam sekejap. Kedua anak itu merespons antusias. Tari pun merasa lega melihat sang putra yang tidak larut dalam kesedihannya.

“Ayo!” Cello kemudian menuntun kedua anak laki-laki tersebut.

🌻🌻🌻

Senyum Tari mengembang, melihat ke arah Fatan yang berjalan digandeng Cello. Di sisi lainnya ada Afraz. Ketiga laki-laki itu melangkah saling beriringan. Sementara di belakang, kedua ibu bocah-bocah tersebut mengekori.

Perempuan penyuka bunga itu kemudian melirik ke sisi kiri. Dia mendapati Adeeva tengah menatap dalam sosok yang berjalan di depannya; senyum samar tampak menghiasi wajah cantik tersebut.

Tari turut tersenyum, takjub melihat Cello dengan jiwa kebapakan. Sembari berjalan di tengah rimbunnya pepohonan, pria itu menjelaskan jenis tanaman apa saja yang tumbuh di sana.

Redupnya Sinar MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang