Lika-liku Kehidupan Mentari

740 99 3
                                    

Satu hal yang paling saya sesali dalam hidup adalah membiarkanmu melewati semuanya sendiri.

—Ahmad Faisal Kahfi—

🌻🌻🌻

“Bu, boleh Fatan makan ini?”

Suara nyaring Fatan berhasil menghentikan aktivitas sang ibu yang sejak tadi sibuk keluar masuk dapur.

“Boleh, tapi Fatan masuk lagi, ya. Main sama Afraz.”

“Ok, Bu,” sahut bocah kecil itu, kemudian berlari.

“Ibu?” Faisal tiba-tiba muncul.

Tubuh Tari seketika membeku. Faisal bergerak mendekati; berdiri tepat di hadapannya. Perempuan itu hendak pergi. Namun, dia tak membiarkannya.

“Jawab saya, Tari! Dia ....”

“Maaf, sepertinya aku tidak memiliki kewajiban untuk menjawab dan kamu tidak perlu tahu apa pun lagi, Mas.” Sengaja Tari memotong kalimatnya.

“Jika tidak perlu bantuanku di sini, tolong jangan ganggu pekerjaanku!” sambungnya kembali.

“Dia sudah besar, Ri ...!” ucapnya lirih.
Perempuan itu pura-pura tidak mendengar, pergi dan memilih fokus pada pekerjaannya. Dia tidak ingin kehadiran Faisal kembali mengusik hidupnya. Bagi Tari, pria itu hanya bagian dari masa lalu. Hubungan mereka telah berakhir sejak lama. Semenjak pria—yang memiliki usaha di bidang percetakan—itu memutuskan untuk pergi dari kehidupannya.

Tari lanjutkan aktivitas di dapur. Namun, beberapa saat kemudian Adeeva datang memanggilnya, meminta ditemani pergi. Sore ini dirinya dan Cello membuat janji bersama Faisal, untuk membahas kerjasama bisnis.

“Ayolah, Ri. Sekalian ajak anak-anak main.”

“Tapi, Mbak ....”

“Aku tidak mau mendengar penolakan, Ri. Ayo, siap-siap. Anak-anak dan Faisal sudah menunggu di mobil.”

Weni yang baru selesai salat Ashar langsung menghampirinya. “Pergi saja, Ri. Lagi pula sejak tadi kamu belum istirahat. Kamu juga jadwalnya pulang sebentar lagi.”

“Tapi, Mbak, aku masih harus menyelesaikan kue ini. Sebelum magrib mau diambil pemiliknya.”

“Sudah tidak usah dipikirkan, Ri. Nanti biar aku yang urus.” Teman yang lain turut menimpali.

Perempuan itu embuskan napas berat, lalu bersiap-siap. Jika sudah bekerja dia memang kerap lupa waktu, paling hanya mengambil istirahat untuk salat. Makan siang pun kerap terlambat.

Usai menanggalkan semua atribut pekerjaan, Tari bergegas menyusul Adeeva dan yang lain. Di depan toko, mobil hitam Faisal terparkir. Langkah ibu satu anak itu bergerak ragu. Ada gejolak dalam diri yang berusaha dia kendalikan.

“Masuk cepat, Ri!” seru Adeeva membuka kaca jendela.

Jemari Tari bergetar membuka pintu. Di samping kanan Fatan, ia duduk. Setelah sekian lama akhirnya  kembali dia berada dalam satu mobil dengan pria yang berada di kursi kemudi. Tanpa menunda Faisal menancap gas, lajukan roda empatnya.

Redupnya Sinar MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang