Malam itu di desa Banyuhulu, kabupaten yang terletak ditengah pulau garam nampak sunyi. Lalu-lalang warga tak terdengar. Namun di rumah sederhana di pinggiran desa berada, beberapa kerabat berkumpul.
Seorang lelaki di luar rumah tan henti membaca dan melafalkan doa. Nampak kecemasan dan kekhawatiran dari bahasa tubuhnya. Istrinya di dalam rumah ditemani dukun beranak sedang memperjuangkan hidupnya untuk melahirkan bayi yang telah lama di kandungnya. Sembilan bulan telah berlalu namun tak kunjung lahir. Dan sekarang genap lima belas bulan dari masa mengandung anak yang sedang berusaha keluar.
Malam sudah larut, suara tangis itu terdengar. Segera pak Mustofa masuk ke dalam dan mengumandangkan adzan. Tak lupa ia bersujud syukur atas karunia anak yang lahir dengan selamat. Bayi lucu itu digendongnya, wajah rona bahagia bersinar di wajahnya.
"Namanya siapa, Abah..?" Tanya istri yang masih berpeluh keringat.
"Aku beri nama Muhammad Tirozut Takrim. Nama putra guruku..!" ucap pak Mustofa kepada istrinya dengan sangat yakin.Bayi itu tumbuh sehat. Hari-hari di gendong oleh ibunya dan di lantunkan bacaan Alquran. Kemanapun dan apapun aktivitas ibunya tak pernah dilepasnya. Terlebih saat beribadah. Pak Mustofa pun rutin mengajak istrinya untuk membawa Tiroz kecil ke kyai-kyai yang ia kenal untuk minta didoakan dan dimintakannya barokah.
"Bacakan madu ini doa-doa, ayat Alquran lalu diminumkannya ke anak ini. Insya allah anak ini akan tumbuh menjadi anak yang cerdas..!" Begitu pesan kyai Harist.Yang diharap datang. Tiroz, semakin nampak kecerdasannya meskipun ia nakal seperti umumnya anak sekolah dasar. Tapi ia selalu menjadi juara ketika ada lomba di sekolah. Entah lomba di bidang seni, pelajaran, ataupun olahraga.
Tamat dari sekolah dasar, pak Mustofa menginginkan Tiroz kecil belajar di pesantren. Derai tangis ibunda melepas Tiroz yang masih kecil untuk hidup sendiri di pesantren tak terbendung lagi. Tangis seorang ibu karena tak tega.
"Abah juga tak tega ummi, tapi ini semua demi kebaikan Tiroz.. abah ingin ia menjadi anak yang baik. Yakinlah seperti abah punya keyakinan ummi..! Tiroz akan sukses berkat doa-doa yang ummi panjatkan setiap malam.."Tiroz memang sudah tak lagi ada di pangkuan seorang ibu. Tak lagi ibunda begadang mendiamkan tangisan bayi dengan bacaan sholawat dan Alquran kala malam. Dan sekarang, malam yang sunyi itu ia ramaikan dengan derai tangis munajat kepada pemilik semesta alam. Doa yang ia khususkan teruntuk Tiroz yang sedang menuntut ilmu di pesantren yang terletak di seberang kota nun jauh. Empat belas tahun yang lalu Tiroz ramaikan rumah ini dengan tangisan, namun sekarang batin seorang ibu berkata;
"Nak, mungkin kau sudah lelah menangis sejak bayi. Dan sekarang, biarlah ibu yang menangis, nak..! Biarkan ibu yang menjerit untuk kebahagiaan mu, agar kau tak lagi menangis. Tak lelah lisan ini membacakan ayat suci untukmu, agar kau selalu bisa tersenyum..."Begitulah tangis dalam sujud simpuh seorang ibu di setiap malamnya. Tak sia-sia, Tiroz sangat mudah menangkap materi yang dipelajari. Hafalan pun ia lahap dengan sangat mudah seperti melahap nasi.
Waktu itu, teman kelas Tiroz menghadap ke arah barat di depan kelas. Kepala yang menyilaukan sebuah tanda yang tertulis "kepala sedang pening" dan gejolak mata sedang mengingat sesuatu.
"Tiroz, kamu sudah hafal..?" Tanya teman kelasnya kepada Tiroz yang baru datang.
"Belum, sama sekali aku belum buka kitab ini..."
"Gila apa kamu.. nanti lak Ustadz bisa marah lagi...!"
Tiroz hanya tersenyum pasrah.
"Hafalan kali ini dua lembar, Tiroz..!" Desak temannya khawatir. Tiroz masih tersenyum.Tiroz menumat rokoknya dan mulai membuka lembaran-lembaran yang akan dihafalkan olehnya. Memandang satu persatu lafadz dan kalimat. Ditatapnya dalam-dalam, tiga kali membaca dan tutup ! Tiroz memanggil temannya untuk mendengarkan hafalannya.
"Tolong disemak ya..!" Tiroz menyerahkan kitabnya. Kawannya mendengarkan dan melihat baris-baris yang di lafadzkan oleh Tiroz. Kalimat dari baris ke baris di ucapkannya oleh Tiroz tanpa jeda dan salah sedikitpun.
"Edan..! Ngafalin tiga menit sdah di luar kepala..?" Ucap kawannya heran.
"Alhamdulillah, mendapatkan lebih mudah dari pada menjaga..!" ucap Tiroz berlalu masuk kelas karena bel telah terdengar lantang.Hari-hari diisi Tiroz dengan membaca, koleksi kitab dan bukunya tak terhitung di kamarnya. Kebiasaan itu dilakoninya hingga jenjang kelas akhir di pesantren. Semua teman-temannya sibuk untuk persiapan tahun depan, ada yang melanjutkan dan ada pula yang mengabdi. Ia sendiri tak tahu harus kemana. Keinginan pasti ada, tapi daya upaya sebagai seorang yang lebih tua dan adik dirumah juga membutuhkan pendidikan membuat Tiroz pasrah dan rela dengan doa-doa atas harapnya.
Sendiri merenung. Diluar jendela pematang sawah milik kyai terhampar luas. Tinggal menghitung hari ia akan berpisah dengan kelas yang sedang ia diami. Dari belakang Ustadz datang menepuk pundaknya yang membuatnya terkejut. Spontan ia langsung menundukan kepala saat tahu yang menepuk pundaknya adalah Ustadz.
"Tiroz, kemaren malam lara Ustadz disini sedang rapat dengan abah yai. Dan beliau berharap kau mengisi di medan akademisi. Kabarkan orang tuamu tentang ini..! Ustadz berlalu. Meninggalkan Tiroz merenung sendiri.Amanah, namun disatu sisi adalah kendala biaya. Seorang yang menempuh pendidikan memang harus ada dana. Karena kebutuhan belajar tidak hanya makan dan minum, tapi buku dan biaya transportasi. Ituah yang mengganjal di hati Tiroz.
"Soal biaya tak perlu kamu pikirkan, insya allah abah ada. Yang penting kamu ngaji sama kang Hasan sewaktu di Jogja nanti..!"
"Lali bagaimana dengan Dhafa abah..? Dia sedang konsen ngafalin Alquran, seharusnya dia yang lebih membutuhkan biaya..!" Tiroz masih memikirkan adik perempuannya yang mondok di Kudus.. "Tak perlu kamu pikirkan, ada gusti Allah..! Semua Allah yang akan biayai, percayalah..! Abahnya meyakinkan.Kata mufakat dan semua telah Tiroz persiapkan. Langkah pertama, Tiroz berpamitan dan meminta doa restu kepada abah yai langkah selanjutnya ia berangkat ke Jogja dan dititipkan ke Ustadz Hasan. Di Jogja, Ustadz Hasanlah yang menjadi ayah Tiroz.
Tiroz mulai masuk kampus. Setahun di Jogja Tiroz memilih untuk ngekos. Banyak alasan darinya. Ia tak ingin menjadi beban Ustadz Hasan. Dan ia ingin lebih berkonsentrasi belajar ketika sendiri.
Selama ini Tiroz membeli buku kadang meminjam ke teman atau perpus. Haus akan baca buku tak pernah surut terlebih hilang dari dasar jiwanya.
Mengalihkan kekonsentrasian yang lebih dan tak ingin memikirkan apa yang masih jauh dan pernah mengganggu pikirannya...
*****
Begitu cerita Ustadz Hasan kepada Nizhama. Lalu ia bertanya tentang perkenalannya dengan Tiroz.
"Tak begitu lama,pak. Baru-baru ini saya kenal dengan Tiroz."Nizhama menyuguhkan senyum. Ia tak tahu bagaimana dan dengan bahasa apa ia menceritakan ketika tatapan tajam mata Tiroz perrtama kali dalam ruang jurnal menyentuh hitam bola mata Nizhama. Nizhama menatap aneh Tiroz. tatapan keheranan kenapa ia menatap Nizhama dengan begitu tajam.
"Bebas, ketika kehendak dan keinginan tidak melampaui batas kemampuan dari sebuah diri.. " Nizhama ingat kata Tiroz kala itu.
"Bebas itu terbebas dari aturan yang mengekang, Tiroz.." Nizhama menyanggah pelan.
"Tak ada hubungannya aturan dan ketidak-bebasan, justru aturan itu sebagai fasilitas kebebasan.."
Tiroz menyumat rokok.
"Merokok ditempat umum..." ketus Nizhama.
"Apa asap rokokku mengganggumu..? Tanya Tiroz.
"Kalau aku pribadi tidak keberatan, tapi entah dengan yang lain..."
"Berarti dalam kebebasan ku ada kemungkinan ketidakbebasan orang lain."
"Kalau memang iya, harusnya ada aturan "no smoking" dan "ruang merokok," sama-sama memiliki kebebasan berupa merokok dan tidak terganggu asap rokok. Aturan itulah fasilitas kebebasan kita.."Logika Nizhama berputar. Ia mencari titik kelemahan dari apa yang Tiroz sampaikan. Asap rokok Tiroz mendekati bibir Nizhama yang sengaja ditiupkan Tiroz dengan nakal.
"Bahkan ada ketidakbebasan tanpa ada aturan, larangan, tapi dari persepsi diri sendiri..." lanjutnya.
"Seperti halnya..?" semakin membuat nizhama sulit mencari titik lemahnya. Ia membuat Nizhama tertantang dan menambah akan penasaran.
"Seorang yang ingin merokok lalu tak jadi, karena ada wanita cantik seperti mu duduk di sampingnya. Padahal wanita itu tidak melarang atau bahkan tidak keberatan seorang itu merokok. Apa kebebasannya tidak terkekang..? Terkekang oleh persepsi dirinya sendiri. Ya walaupun tak ada jaminan kalau ia tidak merokok wanita cantik itu akan menyukainya. Namanya juga persepsi..!"Kenangnya. Saat itulah, ia ingin tahu siapa sebenarnya Tiroz. ingin selalu berbicara dan mengobrol tentang apa yang ia ungkapkan.
*****
Wis weru Tiroz..? Baka wis ya skuy lanjut
Hihihaha
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kau Sebut Cinta Itu Bukan Cinta (COMPLETED)
RandomTiroz pernah jatuh cinta. Karena itulah ia menganggap cinta sebagai musibah terbesar bagi manusia. Di suatu mimpi ia bertemu dengan kakek tua. Demi urusannya dengan cinta, kakek itu mengenalkannya dengan Al-Ghazali dan Plato. Siapa yang tahu, kalau...