*****
Pertemuan di kampus itu cukup singkat. Hanya membahas tentang tulisan-tulisan Tiroz. Nizhama sangat terlihat anggun, memakai hijab sederhana berwarna biru, kaos berlengan dengan gambar tokoh revolusi, serta celana yang begitu ketat. Sederhana namun modis, itulah kata yang tepat untuk penampilan Nizhama pagi ini.Tak banyak yang diperbincangkan karena Tiroz masih dengan gayanya yang dingin. Berbicara dan menjawab jika itu penting, tersenyum dan mengekspresikan wajah datar jika menurutnya konyol atau hal itu bukan urusannya. Itulah Tiroz dihadapan siapapun.
Nizhama ingin mengetahui pendapat Tiroz tentang rencananya yang pernah ia bahas dengan Ezra, Arella dan Raka. Adakah dia siap jika diadakan debat terbuka membahas tuliaannya..? Ataukah ia tidak akan mengubris.
"Untuk apa diadakan debat..? Bukankah semua sudah jelas, dan kalian, para mahasiswa sudah bisa menilai..?" Tiroz bertanya. Tidak mengiyakan tak lula menolak. Tiroz duduk di tangga diikuti Nizhama menjatuhkan tubuhnya disamping kanan.
"Hey, Tiroz. kamu tahu..? Tulisanmu itu tak seperti dengan fakta yang ada. aku saja yang tak mempunyai kekasih tak terima, apalagi mereka yang sedang dibuai asmara,.." Nizhama menekan.Tiroz pelan menatap wajah Nizhama lalu berkata "ya sudah, itu hak kamu, hak teman mahasiswa yang lain. Bukan urusanku..!" Ditatap seperti itu, Nizhama menjadi tingkahnya salah. Semacam ada yang mengganjal diseluruh tubuhnya.
"Fakta bukan demikian, kita sudah merasakan sedang merasakan dan akan metasakan..." lanjut Tiroz seraya tak melepas tatapannya.
"Maksudmu..?" Nizhama tak paham.
"Kau pernah denger Freud..?"
"Yang mengatakan bahwa manusia didominasi keyidak sadaran..?"
"Tepat sekali.."
"Lalu..?" Nizhama masih tak paham.
"Ah, masih saja tak paham..!"
"Ah sudahlah, aku tak mengerti terhadap dirimu.." gerutu Nizhama. Ia meninggalkan Tiroz, betanjak dari tangga yang mereka duduki. Tak banyak yang berlalu-lalang, kebanyakan mahasiswa sudah berada dikelas ataupun di perpustakaan. Hanya ada beberapa yang baru datang atau sengaja masih menikmati suasana luar kampus.
"Nizhama..." panggil Tiroz, langkah Nizhama terpaksa berhenti. Raut wajah yang sedikit masam tak mengubah wajah itu dari kata anggun.
Tiroz berdiri dan menghadap Nizhama.
"Bagaimana jika ada yang mencintaimu..?"Cukup terkejut Nizhama mendengar itu. Ia tak berani menoleh ke belakang. Hanya sedikit menghadapkan wajah ke arah pundaknya sendiri ia memejamkan mata. Banyak prasangka dalam benaknya dan di tepisnya satu persatu namun di yakinkannya kembali. Dan akhirnya ia tak tahu harus bagaimana.
Belum Nizhama menjawab. Tiroz dari belakang melangkah menyusul Nizhama dan berkata "sebaiknya kamu persiapkan debat itu. Mari... gedung fakultas kita sama..." Tiroz mempersilahkan.
*****
Tentang siapa Tiroz masih menjadi tanda tanya. Tidak hanya pada tulisannya, pak tua yang dia salami bebetap hari yang lalu, dan di tambah dia bertanya kepada Nizhama jika ada seseorang yang mencintainya. Ia tak bisa membuang fitrah sebagai wanita, ia merasa bahwa Tiroz dibalik itu semua menyimpan sebuah rasa yang mengganjal dada. Tentang alasan Tiroz tak mengungkapkanny mungkin ada berjuta alasan. Ia juga tak mengerti, kepribadian Tiroz yang penuh dengan kerahasiaan menutup pikirannya hingga pening.
Dua pekan ini, Nizhama terlihat banyak bersama Tiroz. Bicara kemana alur pembicaraan itu mekangkah. Tetang persiapanny diadakan debat, masalah keorganisasian dan ihwal kehidupan mereka. Namun untuk hal pribadi, Tiroz tak membuka sedikit pun. Kegiatan masih seperti biasa. Nizhama masih dengan gitar dan gugusan nyanyian. Tiroz masih banyak bergulat dengan buku dan ngaji setiap sore hari ke Ustadz Hasan.
Dari cermin ia melihat dirinya sendiri. Meneliti dari atas hijabnya hingga ujung kaki. Takut jika apa yang dikenakan tidak pas penampilan masih seperti biasa, hijab sederhana serta kaos lengan panjang bergambar tokoh-tokoh revolusi.
***
Dihalaman yang ramai dengan bunga itu Nizhama mengucapkan salam. Tak nampak seorang pun di halaman seperti kala ia mengikuti Tiroz beberapa pekan lalu. Tak lama pintu terbuka. Seorang wanita tua terheran melihat Nizhama yang terpaku di depannya.
"Wa'alaikum salam, adik siapa..?" Nizhama mengambil tangan keriput itu dan menciumnya dengan rasa kasih sayang.
"Saya Nizhama bu, temannya Tiroz..."
"Owalah, monggo nak, mari masuk.." ibu mempersilakan Nizhama masuk dan memanggil suaminya, Ustadz Hasan.Dari dalam Ustadz Hasan keluar dengan sebongkah senyum kehormatan. Ustadz Hasan menyambut dan seakan sudah kenal lama dengan Nizhama mengetahui ia adalah teman Tiroz di kampus. Setelah bertanya tentang dunia kemahasiswaan, Ustadz Hasan terdiam lama. Hal itupun cepat dipahami oleh Nizhama. Tanpa berbasa-basi lagi ia langsung nyatakan maksyd kedatangannya kepada Ustadz Hasan.
"Tegntang Tiroz..?" Tanya Ustadz Hasan.
Nizhama menjelaskan akan rasa ingin tahu lebih dalam tentang Tiroz. Menolak cinta bukanlah alasan mendasar keingintahuanya. Entah juga mengapa Nizhama begitu penasaran tentang kepribadian Tiroz.
"Sudah dua hari ini dia gak datang kemari, biasanya dia mengaji kittab pada bapak.." Kata Ustadz Hasan.
"Ngaji kitab?"
"iya ayah Tiroz memberi syarat kepadanya agar tetap mengaji, ia juga rutin datang ke pesantren Krapyak. Kebetulan bapak ini dengan ayahnya Tiroz sudah sangat lama berkawan sejak di pesantren dulu. Sekamar dan sekelas pula..." sedikit cerita kepada Nizhama.Cerita itu mulai di dengarkan diresapi sejak awal Tiroz ada hingga ia akan berangkat kuliah. nizhama kadang tertawa, kadang berparas sedih, dan kadang tak menyangka.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kau Sebut Cinta Itu Bukan Cinta (COMPLETED)
De TodoTiroz pernah jatuh cinta. Karena itulah ia menganggap cinta sebagai musibah terbesar bagi manusia. Di suatu mimpi ia bertemu dengan kakek tua. Demi urusannya dengan cinta, kakek itu mengenalkannya dengan Al-Ghazali dan Plato. Siapa yang tahu, kalau...