*****
Sudah sekian kali, namun tak sempat menemukan jawaban. Hidup bukan tentang siapa yang menang. Namun jika sudah ada permusuhan mau bagaimana lagi, menang atau mati di medan perang. Untuk permusuhan kali in, tidak yakin untuk bisa mengalahkannya. Karena cinta di dunia masih menjadi raja.
Kenpa mimpi itu tak lagi hadir saat diri memang benar-benar membutuhkannya. Katanya mimpi sangat berkaitan dengan realita kesadaran, namun tidak dengan mimpi-mimpi Tiroz. Seakan ia adalah jawaban dari sebuah pertanyaan yang masih berkutat di alam pikiran. Entahlah, di dunia ini memang banyak yang tak bisa di jangkau. Kata Tiroz dalam hati..!
Di kampus ia berjalan gamang menuju ruangan dosen. Teman kelasnya melambaikan tangan dan bertanya memakai isyarat dari kejauhan. Tiroz mengacungkan jempol tanda baik-baik saja seraya menyuguhkan senyuman sederhana. Kelelahan yang harus diselesaikan segera.
Peluh keringat telah menjadi samudera, lelah seringkali menghampiri. Perjalanan untuk mencari sebuah hakikat yang tak penting sudah terlalu jauh. Tiroz merasa sudah cukup derita ini karena hanya untuk mengkaji cinta yang tujuannya menyadarkan orang-orang untuk tidak lagi memeliharanya. Cinta, kau didekati kau sambut dengan derita, di kaji agar orang tak memelihara tetap saja duka menghampiri, cinta memang duka nyata namun tak sadar otak manusia telah tercuci dengan janji keindahan yang tak kunjung hadir. Begitu pikiran Tiroz.
Baginya cinta dipelihara atau tidak tetap menjadi derita. Ketika ia berusaha menyadarkan manusia dengan sebuah karya, cinta menjelma kembali sebagai derita.
"Saya mundur..!" Kata Tiroz membuat pak Mubarok terkejut dan tak habis pikir.
"Saya tidak akan lanjutkan skripsi saya..! Saya harus mencari tema lain, sudah cukup cinta menyumbangkan derita di kehidupan saya ini."
"Tidak.. tidak..! Apa maksud semua ini..?" pak Mubarok seakan tak percaya keputusan yang diambil oleh Tiroz. Skripsinya sudah dalam tahap akhir. Sangat di sayangkan jika harus mengganti dengan judul dan tema lain.
Tiroz didesak dan diminta memberi alasan keputusannya.
"Percuma dengan semua kelelahan ini. Mereka akan tetap memuja cinta, menjadi budak-budak cinta itupun jika skripsi saya tidak ditertawakan oleh para dosen penguji..!" Alasan Tiroz seraya melipat uraian rambut yang menutupi dahi.
"Dan kau ingin kalah untuk kedua kalinya..?" Tanya pak Mubarok. "Tiroz, jika cinta telah membuatmu hancur hingga kau harus memeranginya, saat berperang kau akan mundur... berarti kau kalah dengan cinta..!"
"Tapi saya bukan seorang pakar. Ketika saya berbicara tak mungkin di dengarkan. Kalau bapak, iya. Bapak seorang dosen. Saya tak punya gelar dan belum di akui. Saya hanya seorang santri yang entah mengapa tiba-tiba berada di Jogja..!"
"Tiroz, kenapa kau berubah..?"
"Maksud bapak..?"
"Aku kagum pada dirimu. Kau menolak hal yang sudah kaprah, berani menolak cinta. Mungkin mereka semua akan menganggap semua itu banyolan, seperti pertama kali aku mendengar kau menolak cinta. Tapi setelah aku pikir-pikir, membaca, dan mendengarkan apa yang kau sampaikan. Aku, dosenmu.. kau rubah pikirannya. Dan Tiroz yang aku kenal, Tiroz yang tak mau terperangkap pada sebuah sistem atau tatanan. Tapi kenapa sekarang kau jadi ikut-ikutan terjebak dalam sistem..? Tiba-tiba kehilangan percaya diri karena belum mempunyai gelar. Ada apa ini..?"
"Tiroz..! Mempunyai gagasan tak harus ada gelar. Karena belum tentu yang bergelar mempunyai gagasan, terlebih berani menyuarakannya." Lanjutnya memotivasi.
Tiroz terdiam cukup lama.
Beri saya waktu..!"Tak berselang lama Tiroz keluar ruangan pak Mubarok. Saat itu tak sempatkan ia berkunjung ke perpustakaan, seperti kebiasaannya setiap kali ada di kampus. Namun untuk saat ini ia langsung meluncur ke kafe. Ia ingin sendiri dalam balutan sepi. Ia membuat kopi dan duduk diam, entah merenung atau berfikir. Hanya pikirannya yang tahu titik fokus kerutan kening di dahinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kau Sebut Cinta Itu Bukan Cinta (COMPLETED)
CasualeTiroz pernah jatuh cinta. Karena itulah ia menganggap cinta sebagai musibah terbesar bagi manusia. Di suatu mimpi ia bertemu dengan kakek tua. Demi urusannya dengan cinta, kakek itu mengenalkannya dengan Al-Ghazali dan Plato. Siapa yang tahu, kalau...