Wali kelas memanggilku secara pribadi. Dia menanyakan alasanku mengenai pembubaran geng ini. Ia mengatakan jika itu akan membuat hari-hariku kedepannya akan semakin susah. Aku mengerti betul akan konsekuensi keputusan yang aku ambil.
Aku pamit pergi dari kantor guru dan langsung menaiki pagar untuk pergi dari sekolah. Aku tak sengaja bertemu dengan Simbolon, anggota geng motor sekolah sebelah. Kami hanya saling bertatapan tapi aku yakin seratus persen jika dia akan mengumbar info jika aku kabur dari sekolah karena takut akan di keroyok oleh satu sekolahan, aku tertawa kecil membayangkan hal itu.
Aku berjalan dan memasuki kawasan sekolahan tempat adikku bersekolah. Aku menunggunya keluar dari sekolah sembari bermain di taman bermain yang ada disekolah itu. Hingga saat bel tiba, saat dimana adekku berlari mengarah kepadaku dengan senyuman cerah yang selalu dia ukir saat bersamaku. Aku menggandeng tangannya dan membawanya pergi ke salah satu kedai es krim yang aku suka di kota ini.
"Kakak kok ngajak aku jauh-jauh sih?" tanyanya santai.
"Soalnya es krim di kedai ini beda ga kayak di supermarket biasanya." Jelasku.
Dia menganggukkan kepalanya mengerti.
"Kamu udah ijin Bunda kalo beli es krim denganku?" tanyaku padanya.
Dia menggeleng cepat. "Tapi aku ijin Ayah. Ayah bilang Awan akan menjemput kita dari sini."
Aku mengangguk mengerti. Tak lama kemudian es krim pesanan kami datang. Nando langsung mengabiskan satu cup penuh es krim miliknya. Merasa kurang dia bahkan meminta es krimku untuk dia makan. Demi adikku, aku memberikan seluruh milikku yang padahal hanya beberapa suap saja yang aku makan kepadanya. Aku menahan rasa laparku terhadap es krim karenanya. Tak apa, demi adikku.
"Enak?" tanyaku padanya.
"He em. Enakk..." ucapnya senang.
Aku tersenyum senang. Mengusap rambutnya lembut. Tiba-tiba setetes air mata jatuh dari mataku. Melihat hal itu membuat Nando menghentikan makannya.
"Kehidupan sekolah kakak susah ya? Maaf Nando ga bisa bantu," ucapnya lirih.
Air mataku kembali menetes. Aku menghapus air mataku cepat dan menggeleng kepadanya. Dia turun dari duduknya dan memelukku lembut. Membiarkanku membenamkan wajahku pada dadanya.
"Gapapa, kakak boleh nangis sekarang. Ga ada yang berani ganggu kakak nangis kok, ada aku disini." Ucapnya berbisik.
Aku terus meneteskan air mataku. Aku membalas pelukannya. Dalam posisi diam ini, aku menangis tak henti. Membiarkan seluruh tangisanku pecah entah sampai kapan akan berhenti. Nando hanya diam sembari mengelus-elus punggungku lembut.
Aku tidak tahu jika Nando akan tumbuh menjadi sosok yang seperti ini. Tak terasa dia hendak menginjak masa remajanya. Ini berarti akan sedikit waktuku untuk bermain bersamanya lagi. Dan sungguh ini adalah momen yang paling tidak aku suka. Mengingat betapa sukacita nya keluargaku saat merayakan kedatangannya di dunia ini. Sungguh, jika di putar saat-saat itu, mungkin aku tidak akan melepaskannya dari pangkuanku walau sedetik saja.
"Kakak, Bunda kalo marah-marah itu bukan karena benci sama kakak. Nando yakin seratus persen kalo semua yang dilakuin Bunda sama Ayah itu murni karena mereka sayang sama kak Lia. Jadi jangan benci sama mereka ya," lirihnya.
Tetesan air mataku mengalir semakin kencang. Dan durasi tangannya yang mengelus punggungku semakin sering pula.
Selama beberapa menit kemudian kami masih di posisi yang masih sama. Hingga tiba saatnya Awan datang menjemput adikku. Aku pun juga keluar dari kedai itu. Awan menatapku bingung, mungkin karena hidungku memerah dan mataku terlihat bengkak karena menangis tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
EX : dua sudut pandang setelah putus (completed)
Teen Fiction"Semua ini berawal dari kejadian yang terjadi di tahun-tahun yang lalu. Aku pikir dengan menyembunyikan semuanya dan berlaku baik-baik saja adalah solusinya. Tapi tak apa, aku paham. Kau memang pantas bahagia, meskipun bukan aku penyebabnya." Lia po...