Aku menemani Nisa untuk tidur di ruang inap Rifan. Keluarga Rifan sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Mereka menyerahkan semuanya kepada Nisa selaku pacarnya. Mereka meletakkan kepercayaan untuk mengurus Rifan kepada Nisa. Aku menyuruh semua anggota Harley's Club telah pulang karena besok mereka akan bersekolah. Sekarang hanya ada aku disini. Mencoba terjaga diantara keheningan ruang VIP Rumah Sakit sembari mendengarkan musik dari ponselku.
Aku yang semula fokus dengan musik yang aku dengarkan dari earphone-ku terhenti ketika sebuah tangan menyentuh pundakku pelan. Aku membuka kedua mataku yang tadinya tertutup. Aku mendapati Awan telah berdiri di hadapanku.
"Awan?" Aku terkejut akan kehadirannya.
Dia mengisyaratkanku untuk mengecilkan suaraku. Dia menunjuk ke arah Nisa yang tertidur tepat disamping Rifan dengan tangan yang masih menggenggam Rifan erat. Aku mengangguk mengerti. Kami berdua pun keluar dari ruang inap itu. Aku mengantarkan Awan keluar dari rumah sakit.
"Ada baju ganti?" tanya Awan padaku.
"Gue bawa sweater di tas." Jawabku lirih.
Dia mengangguk mengerti. Aku terus menunggu Awan mengatakan sesuatu padaku tentangnya, meskipun itu tidak penting bagiku.
"Artha tadi yang nyelametin temen lo. Dia kena tabrak lari. Artha yang bawa temen lo kesini." Jelas Awan santai.
Aku mengangguk mengerti. Sebelumnya aku sudah tahu tentang fakta itu. Dan aku sangat berterima kasih karena hal itu.
"Trus dia bilang kalo lo lebih baik ga usah nemuin keluarganya lagi, terutama adeknya." Lanjut Awan.
Aku menghentikan langkahku. Kalimat itu mengejutkanku. Bagaimana dia bisa tahu?, tanyaku dalam hati.
Mataku menajam seketika. Aku tidak suka jika semuanya seperti ini.
"Lo tau dimana dia sekarang? Anter gue kesana sekarang." Ucapku tajam.
"Lia, tapi dia ada di—"
"Markas?" tanyaku padanya, menatapnya tajam.
"Oke. Gue bakal nganterin lo. Tapi gue ga jamin dia mau ngomong sama lo."
Jantungku terus menderu-deru. Aku tidak menyangka jika aku akan datang ke tempat ini lagi. Tempat yang dulu pernah aku jadikan markas pula bersamanya. Saat aku memasuki daerah markas, semua mata anggota geng motor itu menatapku tajam. Aku tak peduli. Aku masuk begitu saja dan berhenti tepat di hadapan laki-laki itu. Artha.
"Lo pengecut banget sih! Kalo mau ngomong sesuatu langsung aja ke gue! Ngapain lo harus ngomong ke Awan dulu." Ucapku tegas.
"Biasakan permisi saat datang." Dia mengingatkan.
"Bodo amat. Lo sendiri pergi tanpa pamit." Balasku cepat.
Artha menghela napasnya berat. Dia berdiri dan menatapku lurus. Seperti aku sudah bukan siapa-siapa baginya. Dia benar-benar seperti Artha yang dulu. Dia menghisap vape nya dan menghembuskannya padaku. Terpaksa aku menghirup asap vape itu. Bagiku itu sama sekali tidak mengangguku. Aku bersyukur sudah terbiasa menghirup asap dari benda itu.
"Sekarang mau lo apa?" tanyanya santai padaku.
Aku menghela napasku berat. "Maksud lo sendiri apaan, kenapa gue ga bisa ketemu sama adek lo?" tanyaku menatapnya lurus.
"Itu hak gue sebagai saudara sedarah. Lo ga ada hak untuk melarang gue untuk membuat peraturan itu." Jelasnya santai.
"Lo apain Tasya kemaren?" tanya berusaha santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
EX : dua sudut pandang setelah putus (completed)
Novela Juvenil"Semua ini berawal dari kejadian yang terjadi di tahun-tahun yang lalu. Aku pikir dengan menyembunyikan semuanya dan berlaku baik-baik saja adalah solusinya. Tapi tak apa, aku paham. Kau memang pantas bahagia, meskipun bukan aku penyebabnya." Lia po...