#8 - aku juga ingin hidup normal

30 2 0
                                    

Andreas yang tadinya sedang menyirami tanaman kesayangannya di taman depan rumahnya langsung menjatuhkan selang airnya saat mendapatiku keluar dari taksi sembari memegangi tanganku yang berdarah. Dia segera memanggil beberapa pembantunya untuk mengambilkan kotak pertolongan pertama dan menuntunku masuk ke dalam rumah utamanya.

Rumah utamanya berada di seberang tempatku menginap biasanya. Bangunan itu memang sangat megah, aku tidak bisa membayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan Andreas untuk membangun bangungan yang megah ini. Arsitekturnya sangat mencerminkan sifat Andreas. Beberapa lukisan dari tokoh seniman besar terlihat terpajang di beberapa sudut ruangan. Dan aku cukup dikejutkan oleh salah satu hasil karyaku yang terpajang tepat di hadapanku. Lebih tepatnya di atas tempat api unggun ruang keluarga ini.

Pembantunya membantuku untuk duduk di sofa yang cukup besar melebihi dari tubuhku sendiri dan aku terdiam membiarkan Andreas beserta pembantunya mengobati luka ku ini. Andreas cukup ahli dalam hal ini, karena dia sendiri pernah menjadi dokter di salah satu rumah sakit swasta ternama. Andreas mengatakan jika lukaku ini tidak begitu dalam, jadi tidak perlu dijahit sama sekali. Aku mengangguk mengerti.

Setelah mengobatiku, dia menyuruh semua pembantunya kembali ke tugas masing-masing. Andreas masih menatap lenganku. Dia menatapku dengan tatapan tenangnya, aku hanya bisa tersenyum kepadanya. Tatapannya sama sekali tidak mengusikku, tatapannya terlihat seperti seorang dokter kepada pasiennya.

"Dulu kau pernah mengatakan jika hidup ini berharga." Celetuk Andreas. Dia membenarkan kembali kaos lengan panjangku hingga menutupi semua goresan itu.

Aku mengangguk membetulkan ucapannya. "Tentu saja. Aku akan berpikir demikian jika fase normalku itu kembali."

Dia duduk di sampingku. Dia menggenggam tanganku. Berusaha mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja. Dia tersenyum padaku. Senyumnya itu membuat keriput-keriput di wajahnya semakin terlihat jelas. Aku membalas senyumnya dengan senyuman tipisku.

"Apakah sekarang kau mau menceritakan semuanya padaku?" tanyanya hati-hati. "Kau tahu semuanya tentangku, tentang masa laluku, tentang semua yang membuatku memutuskan untuk berusaha mengakhiri hidupku 4 tahun yang lalu. Dan sekarang aku ingin membantumu, bisakah kau membuka jalurnya?"

"Aku rasa tak seseorang pun yang bisa membuka jalurnya. Bahkan jika diriku sendiripun menginginkannya. Ini sungguh membingungkan. Dan aku rasa lewat bekas semua goresan itu kau tahu betapa sulitnya bagiku untuk melalui semuanya hingga kini," jelasku padanya.

Dia terlihat kecewa dengan jawabanku. Tapi dia berusaha mengerti.

"Bagaimana jika kau tinggal disini selamanya. Kau akan aku anggap sebagai anak sendiri. Kau akan masuk menjadi bagian dari keluarga besar ini. Bagaimana?" dia menyarankanku.

Aku menggeleng lemah. "Aku tidak bisa pergi begitu saja. Ada banyak hal yang belum terselesaikan. Dan juga ada alasan terbesar diriku untuk tidak bisa melepas semuanya. Kau tahu sendiri bukan aku sangat menyayangi adik kandungku, Nando."

Dia menghela napasnya berat, "Kau terdengar seperti mendedikasikan hidupmu sendiri hanya untuk adikmu." Celetuk Andreas cepat.

Aku tertawa kecil mendengar baru kali ini aku mendengarnya berceletuk layaknya kami seumuran. "Yah bagaimana lagi. Aku sudah kehilangan diriku, dan yang hanya aku miliki saat ini adalah adikku. Dia adalah duniaku." Jawabku jujur.

Kami kemudian bercakap-cakap layaknya kawan lama. Tak lama kami berbicara, datanglah si pewaris galeri seni di kota ku, Badrun. Dia dengan pakaian rapinya berjalan mengarah ke arah kami dan mengambil tempat di samping kami. Dia menatapku bingung karena jarang sekali aku berada di dalam rumah ini. Bahkan dia bisa menghitung dengan jari tangannya berapa banyak aku datang kesini.

EX : dua sudut pandang setelah putus (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang