#12 - kartu as

25 1 0
                                    

Langit di malam ini begitu indah. Bintang-bintang mulai berlomba untuk menampakkan diri mereka. Membanggakan betapa cantiknya kemilau cahaya mereka. Tak hanya bintang, bulan purnama itu juga sama. Seakan mengatakan jika hanya dia yang pantas menjadi tokoh utama di malam ini.


Aku tersenyum melihat pemandangan ini. Seakan mensyukuri betapa beruntungnya aku bisa melihat hal semacam ini. Di bawah rumah pohon ini, kami semua membuat sebuah pesta barbekyu.

"Lia sini! Dagingnya sudah matang nih!" teriak ibu Daus padaku.

Aku menoleh kepada mereka. Menampilkan senyum mengembangku serta berlari pada mereka. Ibu Daus menatapku senang, dia menyuapiku daging yang tadi telah dipanggang oleh ayah Daus. Aku tersenyum puas setelah memakan daging yang enak itu.

"Daus, kayaknya jabatan lo sebagai anak pertama perlahan memudar deh. Lihat aja tuh ibumu, daging pertama langsung diberikan kepada Lia, bukan buat lo." Davi menyenggol Daus yang berdiri tak jauh dariku.

"Iya deh kayaknya," Daus mengangguk membenarkan.

Mendengar hal itu membuat ibu Daus tertawa kencang. "Astaga Daus, kan besok-besok Lia bakalan jadi menantu di keluarga kita. Sebegitu cemburunya kah?"

Aku tertawa malu saat itu. Ya saat itu saja. Daniel melempar pandangan ke arahku aneh. Aku tidak seberapa mengerti tentang tatapannya. Hingga saatnya setelah Daus memutuskan hubungan kami, sekitar 3 tahun kemudian, dia menyatakan perasaannya padaku. Maksudku Daniel.

Saat itu aku barusaja menangisi gebetanku yang memilih pergi dariku. Daniel ada disana. Menghapus seluruh air mataku dan menyediakan bahunya untuk ku sandari. Dia mengajakku untuk menjalin hubungan saat kami sedang berada di jalanan kota. Tentunya saat itu aku merasa sangat bahagia. Seakan merasa aku lah pemenang dari segalanya, karena Daniel dia sama sepertiku. Seluruhnya sama sepertiku.

Aku terbangun saat aku bermimpi tentang hal terakhir yang membuatku menyesali telah memiliki hubungan dengan Daniel. Aku menuruni rumah kayu itu perlahan, aku mencari toko kelontong. Namun nihil, aku hanya menemukan anak kecil penjual minuman keliling. Aku membeli satu botol air mineral untukku minum dan membasuh lukaku semalam. Aku meringis sedikit kesakitan saat air itu mengalir membasahi lukaku yang terbuka itu. Sebuah panggilan masuk ke dalam ponselku. Dari adikku.

"Katanya mau beliin aku es krim?" ucapnya cepat.

"Iya, 15 menit lagi kakak sampai." Ucapku kemudian menutup panggilan telepon itu.

Untuk sampai ke sekolahan adikku aku memilih menggunakan taksi. Aku melihatnya berada di depan sekolahannya dengan wajah yang murung. Sepertinya aku telat.

Aku menghampirinya. "Nando!" panggilku.

Dia menatapku kesal. "Telat 5 menit." Ucapnya sembari mengerucutkan bibirnya.

"Astaga, tadi macet di jalanan." Aku mengusap kepalanya lembut.

"Es krim 2 pokoknya." Ucapnya lagi kesal.

"Iya 2 deh buat kamu." Aku mengalah.

"Sip!"

Nicholas menemukanku saat aku berada di supermarket bersama dengan adikku. Tak sengaja dia menyenggol lenganku yang terluka itu, dan aku sedikit kesakitan. Dia heran. Mengambil tanganku dan membuka paksa bagian lengan bajuku. Dia menatapku lemah.

"Gue gatau harus gimana lagi nasehatin lo." Ucapnya lirih. Dia menyandarkan tubuhnya saat disamping lemari penyimpan minuman dingin itu.

"Kalo gitu berhenti aja." Aku membenarkan lengan bajuku. Aku mengambil es krim kesukaan adikku.

EX : dua sudut pandang setelah putus (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang