satu

58K 1.5K 33
                                    

Satu Atap

Hari ini tepat satu tahun pernikahan aku dan Mas Ian. Namun hingga kini belum ada tanda-tanda Mas Ian ingin melepas keperjakaannya atau paling tidak merasakan bagaimana nikmatnya syurga dunia seperti orang lain pada umumnya.

Terkadang aku merasa aneh juga penasaran. Apakah Mas Ian tak berminat padaku? Apakah aku kurang menarik? Berbagai macam pertanyaan melayang-layang di otakku. Bukan karena pikiranku mesum, hanya saja bukankah itu adalah sebagian dari ibadah dan kebutuhan? Namun entahlah dalam pikiran suamiku. Sampai tega membuatku kelabakan dengan berbagai tanya yang melingkup di otakku.

Sebenarnya ingin sekali aku mengutarakan padanya namun terang saja aku malu. Aku takut Mas Ian berpikir yang tidak-tidak dengan keinginan atau pertanyaan yang bisa saja menyinggung perasaannya.

Pernah suatu kali aku memancingnya tentang perihal masa depan dan anak. Mas Ian hanya bergumam yang membuatku bungkam sampai sekarang,

"Belum saatnya Rin, Mas belum siap. Please jangan dibahas. Mas capek!"

Menelan ludah. Aku hanya menunduk meremat jemariku. Segala macam rasa beradu dalam pikiranku. Ingin sekali aku mencurahkan kegalauan ini lalu mencari solusi. Namun tetap aku hanya bisa menyimpan rapat aib di sini, di hatiku.

Sejujurnya aku yakin Mas Ian masih normal. Buktinya terkadang Mas Ian sering mencumbuku namun tak sampai terlalu jauh. Dan itu meyakinkanku bahwa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku.

Berbagai cara aku mencari akal agar bisa meningkatkan keinginan itu namun yang ada Mas Ian tak pernah bereaksi terlalu jauh.

Kesal? Jelas! Aku perempuan normal yang mempunyai hasrat saat berhadapan dengan lawan jenis apalagi saat kami tengah bermesraan. Keinginan untuk itu semakin menjunjung tinggi namun terhempas saat Mas Ian menyudahi di tengah jalan.

Sampai detik ini aku mencoba bertahan dengan segala penolakannya. Entahlah. Mungkin aku terlalu kadung cinta padanya. Sampai rela hati menunggu dua tahun lamanya seperti ini.

Terkadang aku merapalkan kata hatiku bahwa rumah tangga itu tidak melulu tentang hubungan suami-isteri. Meski dari hati kecilku berbanding terbalik ingin merasakan sesuatu yang selalu ditunggu-tunggu saat malam pertama dengan harap-harap cemas. Namun faktanya? Ah sudahlah.

Hari ini Mamahnya Mas Ian meneleponku agar ke rumah beliau nanti malam. Kulihat Mas Ian tengah bersibaku dengan gawai di tangannya.

"Mas, Mamah telepon suruh kita ke rumahnya nanti malem," ucapku seraya membuka pintu lemari baju lalu memilah gamis yang akan kupakai.

"Jam berapa?"

"Selepas magrib. Katanya sih ada Mbak Naya dari Bogor."

Sekedar ngasih tau aja, Mbak Naya itu Kakaknya-Mas Ian.

Kulirik Mas Ian hanya ber-oh saja, membuatku sedikit kesal dengan sikap datarnya. Sesaat mataku beralih ke depan lalu meraih gamis pink yang nanti akan kupakai tak lupa beserta hijab syar'inya.

Aku berdeham sesaat lalu berkata,

"Denger-denger Mbak Naya lagi hamil besar. Gak kerasa ya Mas, Mbak Naya udah mau punya anak tiga." ucapku lagi.

Kali ini kupancing lagi dengan sindiran ini siapa tau Mas Ian peka kan.

"Terus?" jawabnya dingin tanpa mau menoleh barang sedetikpun padaku.

Aku mendengus kesal seraya melipat baju di tanganku lalu melengos keluar dengan hati sedikit teriris karena lelah dengan ketidakpekaannya.

Malam ini kami tiba di rumah Mamah tak lupa membawa aneka buah-buahan kesukaan beliau. Selama perjalanan berlangsung yang memakan waktu satu jam lamanya. Aku dan Mas Ian sama-sama mengheningkan cipta sejak kejadian sore lalu. Jujur. Terlalu malas rasanya untuk memulai sesi percakapan dengannya, apalagi Mas Ian tak juga berinisiatif untuk memulai berbicara sepatah katapun padaku.

"Hai, Dek Airin!" Sambut Mbak Naya memeluk dan membawaku ke ruang makan yang sudah terlihat ada Mamah juga Mas Gibran di sana.

Setelah bersalaman dengan Mas Gibran, aku melangkah lagi mendekati Mamah yang tersenyum hangat padaku. Kuraih punggung tangannya lalu mencium dengan takzim.

"Apa kabar Nak Airin?"

"Alhamdulillah Mah, Mamah sendiri bagaimana?"

"Mamah baik. Yaudah. Yuk, duduk kita makan aja langsung."

Aku mengangguk lalu duduk di samping Mamah. Kulirik Mas Ian menghampiri Mamah dari belakang lalu mencium kening dan memeluk wanita paruh baya itu dengan sayang.

Suara dentingan sendok saling beradu dalam keheningan. Kami terbiasa makan tanpa berkata dan lebih memfokuskan menyantap makanan.

"Kapan kalian ngasih Mamah cucu,"

Mendengar pertanyaan dari Mamah membuatku tersedak, untung saja bisa mengendalikan dengan baik. Jadi sebisa mungkin menelan sisa makanan dengan hati-hati meski terganjal di tenggorokan.

"Belum waktunya Mah." Mas Ian menjawab dengan datar lalu melahap makanan dengan santai.

"Usahin dong Ian. Kasian Mamah pengen cucu dari kamu." sela Mbak Naya menimpal, yang hanya dibalas dengan diamnya Mas Ian.

"Udah ikhtiar atau berobat, mungkin?" Kini Mas Gibran yang bertanya padaku. Aku yang merasa terdakwa malah terbatuk-batuk karena baru saja meneguk air di gelas.

"Belum."

"Sudah!"

Aku dan Mas Ian menjawab serentak namun berbeda jawaban. Yang membuat seisi rumah sedikit terkejut.

"Belum waktunya. Sudah ikhtiar." Mas Ian kembali terdengar menekankan. Demi apa pun aku menunduk tak berani menatapnya.

Suasana kembali hening. Mungkin karena tak enak hati apalagi Mas Ian menjawab dengan sedikit intonasi tinggi yang membuat kami bungkam lalu melanjutkan kembali menyantap makanan.

Selesai makan malam. Aku yang sudah menyelesaikan cuci piring hendak berbalik, namun satu tangan besar mencengkeram tangan kananku yang membuatku tersentak kaget.

"M-mas Ian ...."

"Ikut saya ke kamar!" bisiknya pelan namun dengan tatapan tajam.

Hai aku kembali.

Jangan lupa vote en komentar.

KALI KEDUA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang