#7

8.4K 433 18
                                    

"Waktu njenengan ke Jawa dan waktu itu juga aku nabung buat bangun rumah. Alhamdulillah cuman butuh waktu satu bulan, rumah sudah siap dihuni," jelas Gus Lana.

"Lalu kapan mau pindah, Ning?" tanya Gus Lana sambil menoleh ke arahku.

"Manut njenengan saja, Gus."

"Hari ini nggih," pinta Gus Lana.

"Secepat itu?"

"Heem," jawab Gus Lana singkat.

*****

Setiap malam-malam tertentu, aku selalu menemani Gus Lana berserta Abah dan Umi Aisyah pergi ke rutinan pengajian.

Semenjak pernikahanku dengan Gus Lana, sekarang jamaah wanita yang masih hanya beberapa saja. Mungkin mereka patah hati karena Gus idamannya sudah menikah.

Malam ini jadwalku menemani Abah, Umi, Nduk Zulfa dan Gus Lana pergi ke pengajian.

Aku dan Gus Lana berangkat lebih awal. Kebetulan tempat pengajian tidak jauh dari pesantren, jadi kami menggunakan motor sementara Abah dan Umi menggunakan mobil.

"Berangkat dulu nggih, Abah, Umi," pamitku kemudian mencium punggung tangan beliau secara bergantiaan.

Lumayan banyak tamu yang datang ke ndalem. Sehingga Abah dan Umi harus mengurus tamu dulu.

"Ayo, Ning," ajak Gus Lana yang sudah siap di atas motor pinjamannya.

Aku segera menaiki motor yang dikendarai oleh Gus Lana. Motor berjalan dengan kecepatan sedang.

Menikmati angin sepoi-sepoi malam. Dengan obrolan di sepanjang jalan, bagai dua insan yang sedang berpacaran.

Plis deh, sudah sepuluh bulan usia pernikahan kami. Tetapi hubunganku dengan Gus Lana bagai baru satu bulan.

Kami telah sampai di tempat acara. Aku melihat ke arah tempat duduk bagian wanita. Disana sudah ada Ning Fidzah yang melambaikan tanganya kepadaku.

"Gus, aku kesana dulu nggih," pamitku.

"Iya, tapi jangan jauh-jauh," balas Gus Lana.

"Lah kenapa?" tanyaku bingung.

"Nanti aku rindu," bisik Gus Lana.

"Apaan sih, Gus. Inget ini mau ngaji, bukan waktunya gombal," jawabku.

Segera aku mencium punggung tanggan suamiku dan mulai berjalan di belakangnya.

Gus Lana duduk di atas panggung bersama Gus Sidiq dan Kang hadroh lainnya. Sementara aku duduk di samping Ning Fidzah bersama jamaah lainnya.

"Ini istrinya Gus ya?" tanya salah satu Ibu-Ibu pengajian.

"Nggih, Bu," jawabku kemudian memberikan tanganku untuk berjabat tangan dengan beliau. Tiba-tiba beliau hendak mencium tanganku, dengan segera aku menahannya.

"Jangan, Bu. Mboten sopan," larangku.

"Mboten nopo-nopo, Ning. Ngalap berkahe mantune Kyai lan Bu Nyai," jawab Ibu tersebut.
-nggak papa, Ning. Cari berkah mantunya Kyai dan Bu Nyai-

Aku hanya tersenyum tetapi tetap tidak membiarkan Ibu tersebut mencium tanganku. Jika yang dicium adalah tangan Ning Zulfa itu masih wajar, karna Ning Zulfa masih suci belum ada dosa. Tetapi tanganku ini sudah banyak dosa.

Alat hadroh mulai di tabuh, vocal mulai bersuara. Alunan yang sangat indah hingga seluruh jamaah menikmatinya. Tapi entah mengapa, netraku justru tertuju pada perut besar milik Ning Fidzah. Iya, kini Ning Fidzah telah hamil tujuh bulan. Belum lama kemarin telah diadakan khataman Qur'an untuk si jabang bayi.

Cinta Dalam Diam 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang