#8

8.1K 450 5
                                    

Akankah aku di madu dengan usiaku semuda ini?

"Jangan di pikirin, Ning," ucap Gus Lana mengkagetkanku.

"Mikirin apa sih, Gus," elakku.

Tiba-tiba Gus Lana berjalan ke arahku kemudian meletakan tangannya pada bahuku.

"Aku sudah lama mengenalmu, Ning. Aku sudah tau semua tentangmu, membaca pikiranmu bahkan apa yang membuatmu terganggu. Jadi, masih mau berbohong kepadaku?" tanya Gus Lana kemudian meleparkan senyumnya melalui pantulan cermin.

"Sudah ayo istirahat, Gus," ajakku untuk menganti topik pembicaraan.

"Nggak di lepas khimarnya?" tanya Gus Lana.

"Memang njenengan pernah liat aku tidur nggak pakek khimar?" tanyaku.

"Pernah to kalo habis ...."

"Ya itu beda lah, Gus," ucapku memotong pembicaraan Gus Lana.

Ku baringkan tubuh ini di atas kasur berbalut kain berwarna ungu. Seperti biasa, aku selalu tertidur dengan berbantalkan lengan suamiku. Tetapi entah mengapa kali ini aku memeluk erat tubuh suamiku, seolah-olah tidak ingin membagi tubuh ini dengan siapapun dan kapanpun.

Laki-laki ini milikku dan selamanya akan menjadi milikku.

Waktu berjalan begitu cepat. Hingga tanpa sadar, kini telah sepertiga malam terakhir.

"Ning, bangun," ucap Gus membangunkanku.

Segera aku bangun dan mulai merapihkan khimarku.

"Tumben semalem peluknya kenceng banget," ledek Gus Lana.

"Biarin, kan udah halal," balasku.

Setelah selesai salat sunnah tahajud, aku menyibukan diri dengan pekerjaan rumah. Hari ini sengaja aku tidak memanggil khodimahku, karena aku ingin mengerjakan semuanya sendiri dan melupakan masalah semalam.

"Khodimah nggak dateng?" tanya Gus Lana.

"Nggak, sengaja," jawabku singkat.

Setelah selesai salat subuh, Gus Lana langsung menemui Abi dan Umi. Aku sengaja tidak mengikutinya karena aku takut jika jawaban Abi dan Umi membuat luka hatiku.

Setelah selesai sarapan, aku duduk santai di depan ndalem. Sementara Gus Lana mengajar santri.

"Mbak," panggilku kepada khodimahku.

"Ada apa, Ning?" tanya Mbak Afi yang menjadi khodimahku.

"Lagi sibuk nggak?" tanyaku.

"Nggak, Ning," jawab Mbak Afi.

"Disini yang punya pohon mangga dimana ya, Mbak?" tanyaku.

"Di kebun belakang pesantren ada, Ning. Kebetulan sekarang masih berbuah tapi masih muda-muda, Ning," balas Mbak Afi.

"Anterin ya, Mbak," pintaku.

Mbak Afi mengantarku di kebun belakang pesantren. Aku jarang ke kebun pesantren karena ini bukan bagianku. Bagianku mengurus kebun di samping pesantren.

"Ning, nyidam?" tanya Mbak Afi ketika kami berjalan.

"Nggak, Mbak. Cuman pengen ngemil mangga muda," jawabku.

"Nyidam itu mah, Ning," balas Mbak Afi.

"Njenengan nih sok tau lo, Mbak. Memang sudah pernah nikah tah? Haha," ledekku.

"Ning mah ngeledek," ucapnya.

Sampailah kami di pohon mangga dengan buah yang lebat.

"MasyaAllah, buah favoritku," ucapku.

Cinta Dalam Diam 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang