#5

8.7K 465 0
                                    

Aku mencoba berjalan dengan memegang sisi kasur. Berasa seperti anak kecil yang mulai belajar berjalan.

Perlahan dan perlahan akhirnya aku telah sampai di dapur. Aku mengolah beberapa sayuran dan memasaknya menjadi menu makan.

Setelah itu, aku lanjut membersihkan dan membereskan rumah Mbak Ana.

"Akhirnya selesai juga," gumanku sambil duduk di kursi.

Ku sandarkan tubuhku pada kursi, menatap langit-langit rumah. Berfikir akan kehidupan selanjutnya, bumbu-bumbu rumah tangga.

"Ngelamunin apa, Nduk?" tanya Mas Fuad.

"Siapa juga yang melamun. Mas udah bangun?" tanyaku balik.

"Yaudahlah, buktinya sekarang berdiri di samping kamu. Pertanyaan yang konyol," jawab Mas Fuad.

"Hehe, ya maaf, Mas. Mas Faid mana?" tanyaku.

"Kenapa cariin Mas Faid?" tanya Mas Faid yang tiba-tiba muncu dari belakang tubuh Mas Fuad.

"Cuman tanya aja kok," jawabku jutek.

"Mas mau dibuatin teh anget?" tawarku.

"Boleh tuh," jawab Mas Fuad dan Mas Faid bersamaan.

Aku berdiri dan mulai berjalan menuju dapur untuk membuatkan tiga gelas teh.

Tiga???
Iya, untuk Mas Fuad, Mas Faid dan Gus Lana.

Setelah selesai, aku berjalan menuju kamarku.

"Assalamu'alaikum," ucapku setelah mengetuk pintu.

"Wa'alaikumsalam warahmatullah, ada apa, Ning?" tanya Gus Lana dengan kitab di tangan kanannya.

Menggunakan jubah putih dengan kopiyah di kepala dan sorban bergantungan di bahunya, membuat Gus Lana terlihat lebih tampan.

Untuk beberapa saat aku terpesona oleh cara Gus Lana berpenampilan yang sangat cocok sekali dengan wajah tampannya. Entah sudah berapa ribu kali aku jatuh cinta dengan suamiku ini.

"Ning," panggil Gus Lana membuyarkan lamunanku.

"Anu ini tehnya, Gus," ucapku gugup dan menunduk malu. Aku menyodorkan nampan berisi tiga gelas teh.

"Kok ada tiga?" tanya Gus Lana bingung.

"Yang dua buat Mas Fuad sama Mas Faid, Gus," jawabku tetap dalam posisi menunduk.

"Yasudah, bawa ke tempat Mas Fuad sama Mas Faid duduk aja. Nanti aku kesana," balas Gus Lana.

"Ng-nggih, Gus."

Aku berjalan mundur menjauhi Gus Lana. Hingga tiba-tiba Gus Lana memberhentikan langkah mundurku.

"Tunggu, Ning," cegah Gus Lana.

"Ng-nggih, Gus," jawabku kemudian berjalan maju mendekati Gus Lana.

Ketika aku telah mendekati Gus Lana, tiba-tiba Gus Lana memegang daguku dan mengangkatnya hingga wajah kami sejajar.

Satu kecupan mendarat tepat di keningku. Segera aku menunduk malu setelah kejadian ini. Andai wajahku tidak tertutup cadar, mungkin pipi yang memerah sempurna ini dapat di lihat oleh si Gus.

Gus Lana mengusap lembut ubun-ubunku.

"Yasudah buruan dianter tehnya, nanti keburu dingin."

"Ng-nggih, Gus," jawabku gugup.

Aku berjalan menuju ruang tamu.

"Ini Mas tehnya," ucapku sambil meletakan teh di atas meja.

******

Cinta Dalam Diam 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang