Episode 1

26.5K 619 7
                                    

"Mbak, sebenernya aku suka sama Mas Adam. Gimana kalau kita tuker suami? Kayaknya Mbak Karin juga masih punya perasaan sama Mas Baim!"

Seketika Karina mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Dia menatap lekat wajah perempuan berusia dua puluh satu tahun ini lekat, lalu menggelengkan kepala.

"Nggak usah aneh-aneh, deh, Na. Mending bantu ibu sama Mbok Nah siapin makan di dapur sana. Mbak lanjut lipet baju dulu," sahut Karin berusaha mengabaikan permintaan ngawur Nana.

"Mbak Karina! Ayolah ... semua orang tahu Mbak nggak pernah diperlakuin baik sama Mas Adam. Tapi sama aku? Mbak tahu sendiri gimana perhatiannya. Dia bahkan tawarin aku buat jadi salah satu bintang iklannya!"

Perempuan berjilbab itu tampak memejamkan mata sesaat. Sebongkah batu serasa baru saja menghunjam jantung. Harus diakui, penampilan adiknya yang lebih sering disapa Nana ini bisa membuat lelaki manapun gelap mata. Rambut pirang kemerahannya yang terurai panjang, tubuh indah menjulang seratus tujuh puluh sentimeter bak model, serta kulit putih mulus yang didambakan semua wanita. Apalagi dia seolah membiarkan semua itu tampak menjadi santapan empuk para lelaki mata keranjang.

Semua yang ada di dirinya bahkan tampak lebih menawan dari empat tahun lalu. Lain dengannya yang semakin kurus. Wajah tirus dan mata yang cekung bagai pesakitan.

"Udah, ah. Kamu makin ngaco. Mbak ke belakang du--"

"Buna ...." Saat baru saja hendak beranjak, Tiara-- bocah berusia tiga tahun itu tiba-tiba berlari dari arah pintu, lalu menerjang tubuh Karin yang duduk di bibir ranjang.

"Hey, Oma di mana? Katanya kalian lagi bikin puding bantuan Mbok Nah di dapur?" tanyanya sembari mengelus rambut panjang bocah itu yang dikucir.

"Oma suruh Ara panggil buna sama Tante Nana. Sarapannya udah siap."

"Kamu pergi duluan aja sama Tante Nana. Nanti bunda nyusul. Mau panggil ayah dulu."

"Yuk, sama tante!" Nana beranjak dari kursi, menuntun tangan Tiara menuju ruang makan.

Tiba-tiba di ambang pintu Nana menoleh kembali pada kakaknya seraya berujar, "Pikirin ucapan aku, Mbak. Kesempatan nggak pernah datang dua kali." Setelah itu dia berlalu.

Terdiam Karin dibuatnya. Entah setan apa yang merasuki dirinya, saat mulai mempertimbangkan permintaan Nana.

***

"Kapan kalian mau kasih ayah sama ibu cucu? Nggak baik nunda lama-lama. Tuh, liat si Karin! Dia kasih kita bahkan sebelum diminta." Hamdan membuka percakapan, matanya jelas melirik ke arah Karin juga Tiara. Tajam, juga dalam.

Dia mematung, sejak kelahiran Tiara hubungan Karin dan Hamdan berjalan semakin memburuk dari sebelumnya. Meskipun mereka menyayangi Tiara, kehadiran bocah itu tetap tak bisa ditampik sebagai aib keluarga ini.

"Ah ... Nana, 'kan baru aja wisuda, Yah. Mas Baim juga belum siap jadi orang tua. Cepat atau lambat kita pasti pikirin itu buat ke depannya, kok," sahut Nana sembari memeluk lengan Baim yang hanya terdiam geming. Matanya lurus ke depan. Menatap Karin yang duduk di hadapannya.

Karin sadar tatapan macam apa yang ditunjukkan lelaki masa lalunya tersebut.

"Aku kenyang. Duluan, Bu, Yah. Masih ada urusan. Karina! Ayo pulang ... saya tunggu di parkiran," sahut Adam tiba-tiba menimpali.

Seketika mereka beralih pada lelaki ber-brewok yang tiba-tiba bangkit, mendorong kursi cukup keras hingga menciptakan bunyi yang nyaring. Dia berlalu begitu saja. Meninggalkan tanda tanya besar di benak mereka.

"Dari dulu suami kamu emang nggak pernah berubah, Karin. Nggak punya sopan santun!" cecar Hamdan dengan rahang mengetat.

Karin menunduk, lalu bangkit setelah menuntun tangan Tiara.

"Ma-Maaf, Yah, Bu. Karin pamit dulu. Assalammualaikum." Karin pun beranjak setelah pamit.

"Wa'alaikumsallam. Hati-hati di jalan, ya, Sayang. Kapan-kapan ibu main ke sana."

"Iya, Bu. Rina tunggu." Setelah menyahuti ibunya, bergegas Karin berjalan cepat menyusul Adam.

***

"Ngapain aja, sih? Jalan udah kayak siput. Kamu tahu, 'kan saya nggak pernah suka sama ayah kamu. Kalau bukan Nana yang minta saya nggak mau dateng ke sini. Buang-buang waktu," cerca Adam saat Rina baru saja masuk ke mobil.

"Maaf, Mas."

"Maaf, maaf aja terus. Sepanjang empat tahun nggak cape gitu ulang-ulang kata itu? Saya muak denger--"

"Mas, tolong! Ada Tiara di sini." Bergegas perempuan itu menutup telinga Tiara sebelum sumpah serapah sempat terlontar dari mulut suaminya.

Empat tahun sudah berlalu, selama itu mereka jalani pernikahan bagai orang asing yang tinggal seatap. Tak ada cinta, sepanjang itu Karin jalani hidup dengan caci-makinya.

"Terus kenapa? Dia memang harus tahu kalau saya bukan ayahnya. Anak yang terlahir tanpa asal-usul yang jelas ini, harus diakui sebagai anak saya? Menikahimu saja sudah membuat saya muak, Karin. Apalagi anak yang kamu bawa ini!"

Karin terbungkam, dia paham betul bagaimana rasa kecewa itu Adam pendam selama empat tahun lamanya. Berpura-pura bahwa pernikahan mereka baik-baik saja, padahal kenyataannya tak demikian.

.

.

.

Bersambung.

TUKAR RANJANG (Sudah Terbit ✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang