"Mas Adam nggak mau cerai sama Mbak Karin, padahal udah jelas-jelas mereka nggak saling cinta, ngapain juga dipertahankan sampai empat tahun lamanya?"
Nana tampak mendumel di sepanjang jalan menuju pulang, sementara itu Baim yang duduk di balik kemudi hanya bisa mencengkeram setir dengan pikiran melayang. Menyusuri masa lampau.
Sesal hanya tinggal sesal, seandainya saja waktu itu dia tak terpengaruh hanya karena hasrat sesaat ... mungkin pernikahannya dan Karin masih bertahan sampai kini.
"Kita juga nggak saling cinta, tapi bertahan sampai empat tahun. Sungguh aku sangat bersyukur saat kau meminta cerai, Nana!"
Seketika Nana menoleh, terbelalak matanya saat mendengar setiap kata yang terlontar dari mulut lelaki pertama yang merenggut kehormatannya ini.
"Aku mencintaimu, Mas. Itulah alasan kenapa aku bisa bertahan selama empat tahun ini dengan lelaki sedingin dan sekasar dirimu!" bentak Karin.
Seketika rahang Baim mengetat. Ia membanting setir, lalu menepikan mobil. Ditatapnya perempuan muda berparas cantik ini.
"Kamu pikir apa yang membuatku seperti ini, hah? Kalau saja waktu itu kamu tak menggodaku, kalau saja kesalahan itu tak terjadi mungkin aku masih bisa bertahan dengan perempuan yang begitu kucintai, bukan gadis ingusan yang hanya tahu bagaimana cara menjadi murahan untuk menggoda milik kakak--"
Plak!
"Kenapa Mas menyalahkanku karena kesalahan yang sama-sama kita lakukan dalam keadaan sadar, hah? Kalau memang Mas sangat mencintai Mbak Karin juga bisa mengendalikan hasrat oleh kekuatan imanmu ... hubungan terlarang itu nggak akan pernah terjadi!"
Baim termangu, diusapnya pelan bekas tamparan di pipi. Lalu menatap Nana yang sudah berlinang air mata.
"Mas benar-benar menginginkan perceraian ini, 'kan? Oke, aku akan meminta bantuan ayah. Lagipula dia lebih mendengarku dibanding anak yang tak jelas asal usulnya seperti Mbak Karin itu!"
***
“Seberapa cinta Mas sama Mbak Karin?” tanya Nana di tengah perjalan menuju bandara.
Baim menolehkan pandangan dari jalanan di depan.
“Kita udah merencanakan sebuah pernikahan, jadi kenapa kamu masih mempertanyakan perasaan saya padanya?” jawab Baim datar. Sebenarnya, merahasiakan pernikahan mereka pada gadis ini cukup membuatnya khawatir.
“Hehe ... maksudnya aku cuma heran. Kok, Mas nggak pernah silaturahmi sama Ayah di Jakarta buat dapet restu?”
Baim terdiam sejenak. “Saya dengar, beliau bukan ayah kandung Karin.”
“Ya memang, sih. Mbak Karin, kan, nggak punya Ayah. Sejak kecil, dia numpang di rumah kita dan akhirnya tahu diri buat lanjutin kuliah di luar kota. Pantesan dia nggak mau pulang, ternyata di sini dapetin pahlawan secakep Mas Baim,” terangnya yang lebih terdengar seperti cibiran.
“Bukannya nggak pantas membicarakan mbakmu seperti
itu, Nana? Kamu belajar tentang adab, ‘kan?” Baim mulai geram dengan cara bicara Nana yang terkesan merendahkan.“Nggak. Aku cuma belajar cara bertahan dan menang.” Jelas, nada itu terdengar angkuh.
“Terserah. Setelah mengantarmu sampai bandara, saya akan langsung pulang.” Sebisa mungkin Baim menyudahi percakapan tak berfaedah yang entah apa tujuannya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
TUKAR RANJANG (Sudah Terbit ✅)
RomanceKisah rumah tangga kakak beradik yang penuh intrik, hingga keinginan beberapa pihak mengenai pertukaran pasangan keduanya yang di-sahkan.