Episode 7

9K 588 44
                                    

“Hari ini kita pindah ke Jakarta. Kemarin, Mas diberi kabar ada panggilan dari perusahaan besar di sana.”

Sudah dua bulan sejak perubahan sikap Baim, hari ini tiba-tiba dia meminta Karin untuk mengemasi barang.

“Perusahaan apa? Kenapa secepat ini, Mas?” tanya Karin heran, sembari menghentikan pergerakan tangan Baim yang tengah mengemasi pakaian di kamar mereka.

“Udahlah, Rin. Nggak usah banyak tanya. Yang penting kita bisa segera mengesahkan pernikahan di mata publik, kebutuhan terpenuhi dan kamu nggak kelaparan!”

Karin tertegun lama.

Jujur, sebenarnya dia sangat ingin bertanya apa yang telah terjadi. Kenapa sikap Baim berubah? Kenapa dia tiba-tiba diterima kerja? Dan, kenapa mereka harus pindah?

Semua pertanyaan yang menggelayut dalam benak, akhirnya hanya bisa dia telan sendiri.

Pelan tapi pasti, mungkin Baim akan menjelaskannya.

“Kuliahku?” tanyanya lirih.

“Kamu bisa tunda kuliahmu untuk sementara, ya.” Baim menghampiri Rina, lalu meletakkan kedua tangan di bahunya.

Karin menghela napas panjang. Meskipun gamang, akhirnya dia mengangguk juga. “Baiklah.”

Setidaknya bila bersama Baim, dia bisa tinggal di kota besar yang banyak menyisakan kenangan pahit dalam
hidupnya.

***

Jakarta, 2 Agustus 2016

“Ternyata, masih ingat pulang juga kamu. Tadinya Ayah mau paketkan semua barang-barangmu ke Surabaya atau bakar yang tersisa,” ucap Hamdan Adiguna--sang ayah saat Rina berjalan melintasinya.

Karin hanya menghela napas, lalu berjalan ke kamarnya dan keluar lagi sembari mendorong koper berisi beberapa pakaian yang tertinggal.

“Nggak, aku cuma mau bawa barang yang ketinggalan. Untuk sementara, mau tinggal di rumah Mbok Nah,”
dustanya pada Hamdan. Padahal sebenarnya, Karin akan tinggal bersama Baim.

“Dasar anak nggak tahu diri! Udah dipungut sejak kecil masih aja nggak tahu terima kasih. Sebenarnya ibu kamu itu Risma atau pembantu itu, sih?” bentak Hamdan. Entah kenapa
nada suaranya selalu naik tiap kali berhadapan dengan Karin.

“Ingat, Karin! Sebulan lagi ada acara pertemuan investor yang diliput media. Kamu harus hadir, kalau tidak mau keluarga kita dicap bermasalah,” tegas Hamdan tak terbantahkan.

Rina termangu. Detik berikutnya, perempuan itu tersenyum mencibir.

“Kenapa? Bukannya dari dulu keluarga ini memang bermasalah? Aku hanya sial saja karena menjadi
bagian di dalam—”

Prang!

Sebuah pajangan dilempar oleh Hamdan hingga berserak tepat di hadapan Rina.

“Sejak dulu kamu tak pernah diinginkan siapa pun, Karin! Di sini aku cuma berusaha menjadi ayah yang baik, meskipun aku membencimu. Jadi, tolong bersikaplah dengan baik kalau
masih ingin kau dan ibumu diakui!” cecar lelaki itu naik pitam.

Rina menatap ayah tirinya itu dengan mata yang berkilat. Air mata pun lolos dari matanya tanpa bisa ditahan. Tak ada pilihan, tempat ini sudah bagai penjara yang membuatnya tak bisa bertahan maupun lari.

Perempuan itu menghela napas dalam, lalu mengembuskannya. “Baiklah. Aku akan datang.” Kemudian dia berjalan menuju pintu keluar.

Setidaknya dia cukup mengikuti keinginan Hamdan, dan semua selesai.

TUKAR RANJANG (Sudah Terbit ✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang