Episode 10

9.6K 681 64
                                    

“Izinkan aku untuk bertemu dengan Karin, Risma. Kumohon! Aku yakin selama ini dia menungguku pulang.”

Haris berlutut di hadapan Risma, memohon agar dipertemukan dengan putrinya. Sepuluh tahun sudah berlalu sejak dia dan Atikah memutuskan untuk pergi ke luar negeri dan melangsungkan pernikahan di sana sampai kondisi membaik.

Keluarga besar Adiguna sudah memutuskan, “toh pada akhirnya mereka berpisah baik-baik dan menjalani hidup masing- masing”. Maka dari itu, tetua keluarga Adiguna—yang tak lain adalah neneknya, membolehkan dia pulang setelah operasi plastik Atikah selesai dilakukan. Menutupi kenyataan bahwa dulu wanita berdarah Pakistan itu adalah mantan istri Hamdan, saudaranya.

“Sudah terlambat, Haris. Dia melupakan semuanya, bahkan dirimu. Kalau kita bekerja sama dan tak membuatnya mengingat betapa buruk ayahnya dulu, maka hidup Karina
akan baik-baik saja. Lakukanlah peranmu sebagai paman dengan baik!” papar Risma sembari menatap lurus mantan suaminya.

Haris tertegun. Dia hanya bisa menunduk merutuki kesalahannya. Bagaimana dia begitu dibutakan cinta dan melupakan anak tak berdosa yang akhirnya menjadi korban dari keegoisannya.

Nasi sudah menjadi bubur, tak ada yang bisa dia lakukan selain menjalani hidup dan menutupi kenyataan yang ada. Dengan seperti itu, dia bisa tenang menjalani hari sembari memantau perkembangan putri yang dicintainya.

“Bu, Karin berangkat dulu, ya.”

Seketika Haris mendongak. Pria berkacamata itu bangkit saat mendengar suara lembut itu. Matanya terpaku menatap gadis muda yang berdiri di samping Risma. Cantik menawan, kulitnya pucat bening, wajah mulus dengan rona kemerahan di pipi. Jilbab merah menutup kepalanya dengan tunik berwarna putih dan bawahan celana jins.

Ya Tuhan ... mati-matian Haris tahan keinginannya untuk menarik gadis itu dalam pelukannya. Tak menyangka, Risma mampu membesarkan Karina dengan begitu baik.

Bila melihat penampilan Risma yang begitu glamour dengan pakaian ala
wanita sosialita pada umumnya, seolah membuatnya tak percaya perempuan itu yang telah membesarkan gadis luar biasa ini.

Namun, dia benar-benar bersyukur, Karina mampu tumbuh baik dan berjalan di jalur yang benar. Entah di mana dia belajar. Ilmu agama tak pernah dia ajarkan pada putrinya
sejak dini. Pegangan umat manusia yang dia tinggalkan sejak lama, hingga menjadikannya manusia tak bermoral yang tega meninggalkan keluarga karena seorang wanita.

“Om ini siapa, Bu?”

Masih bisa Haris dengar gadis itu berbisik pada ibunya.

“Dia ommu yang selama ini menetap di luar negeri, Nak,” terang Risma.

“Oh, Om Haris yang itu.” Gadis itu tersenyum, kemudian beralih pada Haris sembari memasang senyum manis di bibir.

“Gimana kabarnya, Om? Akhirnya kita bisa ketemu.”

Tubuh Haris mematung saat Karin meraih tangannya dan menciumnya.

“Ba-baik.” Hanya itu kata yang bisa terucap.

“Ya, udah. Rina berangkat dulu, ya, Bu.” Dia tampak menyeret koper besar menuju mobil yang sudah terparkir di pelataran.

Haris melihat gadis itu melambaikan tangan sebelum menghilang setelah pintu mobil tertutup.

“Dia akan melanjutkan perguruan tinggi di Surabaya dan menetap di sana sampai lulus,” jelas Risma seolah menjawab tatapan tanya Haris.
“Kenapa harus Surabaya? Tunggu! Apa Hamdan memperlakukannya dengan baik, Risma?”

TUKAR RANJANG (Sudah Terbit ✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang