Park Sooyoung.
Gadis yang lebih suka dipanggil dengan nama Joy daripada nama asli yang menurutnya sangat kuno itu.
Gadis yang selalu merasa gagal tentang percintaan dan membuatnya tidak ingin lagi terlalu berharap ketika menemui seorang laki - laki...
Joy terdiam seribu bahasa, meremas ponselnya erat - erat, tidak mempedulikan telapaknya yang semakin memutih.
Joy benar - benar sedang tidak ingin membahas topik ini namun entah kenapa Joy juga tidak memiliki intensi untuk menutup sambungan teleponnya.
Joy ingin mendengarnya lagi.
Sungguh terlihat egois tapi Joy ingin lelaki itu mengatakan hal tersebut sekali lagi.
Tidak butuh waktu lama, Joy segera memutus panggilan secara sepihak kemudian dengan langkah ragu, Joy keluar menuju ke pintu utama.
Kegelisahnnya semakin kentara ketika Joy tampak memegang gagang pintu erat, memikirkan kembali apakah keputusan yang Ia ambil adalah sesuatu yang benar.
Terserah saja!
Mengabaikan segala kemungkinan buruk, Joy memilih untuk menarik handel berwarna putih itu dan tepat di hadapannya kini Ia melihat punggung lebar seseorang yang begitu Ia kenal tengah berbalik menampakkan sebuah ekspresi bingungnya.
"Joy, aku..—"
"Ayo kita bicara sambil mencari udara segar." ucap Joy dengan suara seraknya.
Sejujurnya Joy merasa tercekik dengan atmosfer canggung yang menyelimuti keduanya. Maka dari itu Joy mengusulkan untuk berbincang sembari melepas stress dengan berjalan disekitar kompleks perumahannya.
"Apa maksud perkataan kakak itu?"
Suinn menoleh antusias mendengar Joy akhirnya yang memulai setelah berjalan beberapa menit tanpa pembahasan apapun.
"Kau juga tahu maksudku. Aku kalah. Aku jatuh, Joy."
Tiba - tiba Joy menghentikan langkahnya dan tentu saja Suinn mengikuti.
Helaan nafas Joy yang terdengar begitu gusar tertangkap oleh indera Suinn. Tapi Suinn memilih untuk tetap diam, membiarkan Joy menata kalimat serta menenangkan pikiran dahulu.
"Jangan."
Kemudiam Joy memutar tubuhnya agar berhadapan dengan Suinn yang menatapnya penuh pertanyaan tersirat.
"Jangan menyerah. Jangan kalah. Aku mohon."
"Apa?"
"Jika kakak mengaku kalah, apa yang harus aku lakukan?"
Suinn menyadarinya. Ketakutan yang begitu besar terpancar kuat dari mata hazel gadis itu. Emosi yang belum pernah Suinn lihat sebelumnya karena memang Ia tidak pernah mendalami tatapan Joy sampai hari ini.
"Jika aku kalah tentu saja kau menang."
"Lalu bila aku menang..–"
Joy menunduk menggantungkan ucapannya. Mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh untuk menahan segala kebimbangan bercampur kemarahan yang tanpa sadar telah meledak di dalam.
"Bila aku menang, kita akan bagaimana? Mengakui kekalahan maupun kemenangan satu sama lain, lantas berakhir seperti tidak terjadi apa - apa. Begitu?"
Seiring Joy kembali mendongak dan memfokuskan pupilnya pada bola mata Suinn, di detik itu juga Suinn memahami.
Bahwa kedua belah pihak sudah kalah sedari awal.
♦ JØY ♦
Joy berbaring di sofa yang lebih pendek dari panjang tubuhnya dengan tangan kanan Ia letakkan di dahi.
Joy benci dengan keadaan semacam ini. Merasa terombang - ambing oleh permainan yang Ia buat sendiri sampai - sampai tidak tahu harus melakukan apa.
"Karma–nya memang sepahit itu ternyata." gumam Joy di rumah yang entah kemana para penghuninya, Joy sedang tidak ingin peduli.
Memikirkan satu masalah saja sudah memusingkan.
"Karma memang selalu getir jika kau tidak menikmatinya."
Joy mengangkat tangannya sebentar tanpa berminat mendudukkan tubuhnya. Hanya ingin mencerna suara siapa yang mendekat. Dan ketika kakak ketiganya kini telah duduk di sofa kecil di sisinya, Joy menaruh tangannya kembali ke dahi.
"Aku sudah mengetahuinya. Tidak perlu berpura - pura."
Mengerti apa yang Wendy maksud, Joy hanya menghela nafas berat serta terus menutup matanya. Terlalu malas untuk sekedar memikirkan alasan lain yang pastinya akan terdengar basi di telinga Wendy.
Karena Kak Wendy memang tahu segalanya.
"Hei, aku sudah pernah menasihatimu bukan? Jangan meremehkan cara kerja alam."
"Ya ya ya. Kak Irene juga sudah pernah mengatakannya. Kenapa kalian berdua begitu melankolis?" sungut Joy yang selalu mendengar filosofi kehidupan dengan bahasa berat dari Wendy serta Irene.
Wendy tidak menanggapi. Hanya mendengus pelan, mengerti bahwa Joy masih merupakan anak bawang yang belum mengalami hal sesulit dirinya, Seulgi, maupun Irene.
"Kenapa kau membuatnya rumit?"
"Ini sudah rumit sejak awal, Kak!"
"Bodoh!! Lalu jika kau tahu kenapa masih melakukannya?"
"Justru aku melakukannya karena aku tidak tahu. Jika aku tahu sedari awal untuk apa aku menjalankan semua ini?"
Joy kemudian menaikkan sebelah alisnya ketika merasakan tangannya diangkat oleh Wendy serta wajah putih itu muncul di hadapannya.
"Jika benangnya sudah kusut, potong saja bagian yang rusak lalu sambung bagian yang masih bagus. Bukan begitu?"
Setelah mengatakan hal itu, Wendy kembali meletakkan tangan Joy di posisi semula lantas pergi meninggalkan Joy yang masih terdiam mencerna.
Kak Wendy benar juga!
♦ ♦ ♦ B E R S A M B U N G ♦ ♦ ♦
i don't know why but i just wanna drop this in here hehe..
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dan ya, aku emang seorang JoyRene shipper :""
I like their love and hate relationship hehe 💖💚💖💚💖