Seusuatu Yang Bersifat Mendadak

409 83 16
                                    

[ JØY ]
.
.
.
.

"Jadi kapan kalian merencanakan untuk menikah?

Uhuk!!

"Ma, perlahan! Selain karena mereka baru satu bulan berhubungan, Joy juga masih bersekolah!"

Sana menyahut cepat ucapan ibunya sembari menepuk - nepuk serta mengelus punggung Joy supaya acara tersedaknya segera berhenti.

Sontak saja Joy langsung meminum air putih yang dituangkan Suinn-walaupun lelaki itu juga terbatuk - batuk-sembari menenangkan dirinya serta jantung yang tiba - tiba berdebar. Setelah keadaan kembali normal, Joy hanya terdiam menunjukkan senyum kikuk pada ibu Suinn dan Sana yang kini tengah diceramahi oleh suaminya.

Aku tidak menduga substansi ini.

"Sudah?"

"Mmm." Joy mengangguk pada Sana yang mengkhawatirkannya.

Namun entah kenapa Ia ingin menatap Sana yang sudah beralih pada orang tuanya dan membantu ayahnya untuk menegur perempuan paruh baya yang sangat berterus terang itu.

Membayangkan Sana menjadi adik iparnya saja sudah membuat Joy bergidik, apalagi jika benar - benar terjadi. Mungkin akan semakin cringe jika nantinya orang - orang tahu bahwa usia istri Suinn sama dengan umur adiknya.

Aw, fantasi macam apa ini?

Cukup lama situasi menjadi hening, Joy membuka mulutnya, bersiap untuk menjawab pertanyaan yang tadi belum sempat ditanggapi dengan jelas, namun suara Suinn di samping kirinya membuat Joy mengurungkan niat dan memilih untuk membiarkan Suinn yang menyelesaikannya.

"Mungkin kami akan bertunangan dahulu, baru memikirkan kelanjutannya."

Joy menoleh cepat menyadari ada yang tidak sesuai dengan perkiraannya.

Memikirkan bahwa mereka masih terjebak dalam lingkaran permainan dan belum menyelesaikannya namun berani mengambil keputusan senekat itu membuat rasa takut Joy semakin besar.

Bagaimana jika pertunangan itu juga merupakan pertunjukkan belaka yang ketika sudah dibelakang panggung akan berbeda?

Tentu kita tidak boleh terbawa perasaan ketika memerankan drama bukan?

Ini salah. Ini sungguh kelewat batas.

Dan Joy tidak bisa menahannya sehingga Joy tiba - tiba bangkit lalu berdiri di belakang kursi yang tadi Ia duduki. Membungkuk sampai tubuhnya membentuk sudut siku - siku mungkin menurutnya sudah cukup lantas Joy pergi dari tempat itu dengan langkah cepat serta kebimbangan yang semakin berkembang pesat.

Samar - samar Ia dapat mendengar suara Sana dan ayahnya kembali menegur dan menasihati ibu Suinn itu.

Baru saja Joy menginjak rumput yang menutupi tanah dihalaman depan dengan sepatu heels merah maroon nya, tiba - tiba pergelangan tangan Joy dicekal oleh tangan besar yang Ia tahu persis siapa pemiliknya.

"Hei, maafkan aku."

Joy bahkan terlalu ragu hanya untuk membalikkan tubuhnya.

Tidak ingin masalah semakin membesar, Suinn mengalah dan memilih untuk bergerak terlebih dahulu demi bisa melihat wajah gadis itu. Gadisnya.

"Kak, kita bahkan belum memutuskan rantai permainan ini dan kau sudah melakukan tindakan lebih jauh."

"Lalu aku harus bagaimana supaya ini selesai, huh?!"

Kali ini Joy mendeteksi nada frustasi yang baru pertama kali Ia dengar dari mulut Suinn. Dengan mengumpulkan nyali, Joy mendongak melihat mata yang kini juga tengah menatapnya penuh harapan.

"Mungkin satu - satunya cara adalah mengakhirinya."

Kak Wendy salah. Semua bagian sudah kusut dan tidak ada yang bisa diselamatkan.

♦ JØY ♦

"Astaga Yatuhan, PARK SOYOUNG!"

Suara nyaring kakak tertua di rumah itu tiba - tiba terdengar ketika Joy tanpa aba - aba menjatuhkan kepalanya di paha Irene yang tengah duduk di sofa panjang ruang keluarga, menonton sebuah film bersama ketiga saudara lainnya di karpet.

"Pasti Kak Suinn lagi." ujar Wendy tanpa ingin mengalihkan pandangannya dari layar TV di depannya.

Irene baru saja ingin memarahi kedatangan Joy yang begitu mengejutkan, namun diurungkannya karena melihat ekspresi Joy begitu muram serta mata lelah yang tertutup kelopaknya.

Naluri Irene pun menggerakkan tangannya untuk mengelus rambut hitam lembut berkilau di pangkuannya itu dengan penuh perasaan.

"Ada apa lagi hmm?"

Gelengan kepala Joy justru membuat Irene semakin yakin bahwa ada sesuatu di pikiran Joy saat ini.

Irene mengangguk pada Wendy yang menoleh menatapnya, seakan meminta persetujuan untuk sesuatu.

"Kenapa kau selalu menuntut akhir dari semua permulaan?"

"KAK WEN!!"

Walaupun sedikit tidak mengerti dengan kalimat tanya Wendy, namun Joy tetap sadar bahwa kini kakaknya itu sedang menyelami pikirannya.

Berbeda dengan Yeri yang memang merasa belum memiliki hak serta cukup pengalaman untuk mendengarkan topik ini juga memberi saran sehingga memilih diam dan fokus pada film, Seulgi justru perlahan menolehkan kepalanya, mulai tertarik namun juga tetap atas dasar peduli bukan hanya ingin tahu.

"Aku sudah tahu kalau itu hanya permainan."

Ucapan Seulgi membuat Joy menegakkan tubuhnya. Duduk sambil menatap terkejut kakak keduanya yang sangat frontal dalam berucap itu, lalu beralih menatap Yeri yang kini membeku mendengar pernyataan Seulgi barusan.

"Ehem, aku akan ke kamar."

Sepertinya Yeri cukup peka bahwa ini sudah melebihi batas apa yang Ia boleh dengar atau tidak, jadi Yeri berdiri, berpamitan, lantas pergi menuju lantai dua membiarkan 3 perempuan dewasa menyidang satu gadis termuda kedua di keluarga itu.

"Lagipula kau juga sudah menyukainya. Untuk apa ragu - ragu?"

Lanjut Seulgi setelah memastikan bahwa anak bungsu sudah benar - benar jauh dari mereka saat ini.

"Tapi ini harus diakhiri,"

"Kenapa?"

Sahutan Irene membuat Joy benar - benar bungkam. Tidak ada kalimat yang 100% layak untuk menyanggah.

Namun susunan kata - kata elakan seketika terukir di hati dan pikiran Joy.

"Karena ini semua dimulai dengan cara yang tidak seharusnya."

♦ ♦ ♦ B E R S A M B U N G ♦ ♦ ♦

Mungkin di pas part 15 aku bakal selesaiin bagian Joy ini walaupun nanti mungkin agak nggak masuk akal.

Regards
- C

Red Velvet Fraternity 3 : JOY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang