PERSONA : 1

419 32 6
                                    

"Musuh terbesar dari kita adalah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Musuh terbesar dari kita adalah.. bayangan kita sendiri."

***

Cukup.

Aku menutup telingaku. Mengurung diri di dalam kamar dan memejamkan mataku. Membayangkan seolah-olah di rumah ini tidak terjadi apa-apa. Tidak ada teriakan, tidak ada pecahan atau bantingan benda, dan tidak ada caci makian.

Berjalan ke arah balkon dan mengunci pintunya, aku duduk di kursi, menatap bulan purnama yang menerangi wajahku. Melihat ke pojok, ada tanaman yang sangat kucintai.

Bunga lily. Salah satu bunga yang dapat membuatku lupa akan segala masalahku, segala teriakan yang memenuhi telingaku.

Bunga yang putih, suci, dan sangat cantik.

Aku tersenyum, melihat bungaku yang disinari oleh sang rembulan.

Dan di seberang sana, seorang lelaki tengah mengangkat sebuah papan tinggi-tinggi. Dan aku mencoba membacanya.

'Let's we screamin'!'

Dan dia, yang juga termasuk ke dalam daftar,

Alasanku tersenyum.

***

"AAAAAAAAAA!"

Berteriak itu menyenangkan.

Seperti melepaskan segala amarah yang terpendam di dalam diri kalian sendiri. Mengeluarkan segala hal yang membuat kalian terganggu.

Merentangkan tanganku, membiarkan angin malam menembus badan kecilku. Dan memejamkan mata, sambil membayangkan bahwa aku sekarang sedang terbang. Lari dari segala keluh kesah yang membebani hidupku.

"Udah lega belom?"

Menoleh ke belakang, menatap pria yang sedang duduk di belakangku sambil menguap. Aku tahu dia mengantuk, tetapi dia memaksakan dirinya untuk menemaniku melepaskan semua ini.

Salah seorang sahabatku, orang yang membantuku selama bertahun-tahun, yang tak pernah bosan atau mengeluh sekalipun jika aku merepotkannya.

Ikut duduk disampingnya, aku tersenyum. Melihat ke arah bulan yang kini terisi penuh, dia menjatuhkan kepalanya di pundakku.

"Jangan tidur woy! Masa gue lagi yang bawa lo pulang?" aku mencoba menyingkirkan kepalanya.

"Ngantuk." Dia menguap kembali. "Kapan lo mau cerita?"

"Cerita apa?"

Merasakan pundakku sudah tak lagi berat, dia menatap wajahku. "Gue tau semuanya, dan lo sampai sekarang masih nggak mau ceritain ke gue?" dia tergelak. "Kita udah sahabatan berapa taun si, Na? Walaupun gue juga udah jadi tetangga lo, masih nggak mau cerita?"

Merebahkan badanku di atas rumput yang tebal ini, disinilah rumahku yang sebenarnya. Tenang dan nyaman. Tanpa teriakan, tanpa suara bising yang mengganggu.

PERSONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang