Sebuah Tatapan
Mata itu tajam menatapku, seperti ingin menerkam namun menyisakan sisi kelembutan yang mempesona. Urat-urat yang timbul diantara ruas jari-jemari panjang sedari tadi aku perhatikan membuat dadaku sedikit bergetar. Sejenak aku tersadar, entah apa yang sedang aku pikirkan, mata tajam itu atau pikiranku memang sudah tergila-gila olehnya.
"Rian" panggil Wina sahabatku sambil melambaikan tanganya ke arah lelaki yang sedang menguasai pikiranku selama beberapa hari ini.
Hari ini sama seperti waktu pertama berjumpa dia tak pernah lupa menaruh pesonanya di mataku. Dua hari yang lalu kami berkenalan melalui Wina, kebetulan, semenjak lulus kuliah Wina kembali ke kota kelahirannya ini dan bekerja. Hari ini kami membuat janji bertemu lagi, karena aku dan suami akan kembali ke Samarinda keesokan harinya.
"Hari ini, biar aku yang traktir" ucapku memulai perbincangan.
"Cie, yang punya setengahnya Samarinda nggak usah repot2, yang punya setengahnya Semarang yang traktir lagi hari ini" sanggah Wina sambil memainkan matanya ke arah Rian.
"Udah, tenang aja, balas Rian dengan melayangkan senyumannya ke arahku.
Tiba-tiba, aku merasakan darahku mengalir dengan cepatnya ke kepala, wajahku seperti tertutup kain tebal dan pipiku terasa berat. "Ada apa ini", ucapku dalam hati. Tidak mungkin aku menyukai seorang pria yang lebih muda dariku terlebih aku adalah seorang istri sekaligus seorang Ibu dan Rian juga baru menikah minggu lalu.
"Eh beb, malah melamun" suara Wina memecah lamunanku. " Oh iya, besok dirimu balik kan, aku salam ya buat laki mu, buat Tanisha juga, entah kapan nih kita bisa jumpa kek gini lagi, dan untung aja ada Rian, jadi aku bisa ijin keluar kantor, lagian kamu juga ngajak keluarnya pas jam kerja gini"
"Iya, maaf deh, namanya juga ikut suami kan mumpung di Semarang" balasku sambil memperhatikan wajah Rian yang sibuk dengan hpnya.
Entah kenapa, hari ini aku tak mau melewatkan sedikit pun senyum manis dari wajah Rian. Seorang pria yang baru aku kenal karena dia teman sekantor sahabatku. Tepatnya baru dua hari yang lalu aku berkenalan dengannya. Bagiku detik ini tidak mengapa aku menikmati pesonanya, toh mungkin aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Sampai saat ini aku yakin, ini adalah sebuah perasaan biasa yang muncul sama seperti yang pernah aku rasakan dulu sebelum menikah. Dan selama lima tahun pernikahanku dengan Angga, tak pernah ada seorang pun yang aku pikirkan. Rian adalah pertama kaliku yang aku anggap perasaan ini akan hilang seiring berjalannya waktu.
Tapi, sikap, tatapan, dan senyumannya seakan ingin menarikku lebih jauh padanya. Aku merasa ada yang berbeda, atau hanya perasaanku saja. Mungkin perasaan ini berkecamuk karena telah lama aku tidak terpikir akan pria, lalu berkenalan dengannya yang tampan dan berbadan atletis tentu perempuan mana pun akan tertarik.
Rasa bosanku tiba-tiba saja menjadi sebuah rasa penasaran. Penasaran bagaimana rasanya menjalin hubungan dengan pria lain. Pikiranku mulai memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal. Apa mungkin aku akan menghianati suamiku. Apa mungkin menjalin hubungan dengan pria lain bisa mengobati rasa bosanku.
Tiba-tiba saja, aku berpikir, berselingkuh secara diam-diam mungkin tak apa.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding
RomansaKarena mahar yang kau berikan padaku, telah aku nodai. dan hatimu telah aku lukai.