Bagian 7

185 3 0
                                    

....Sebuah Kenyataan...

Angga menatap tajam kepadaku. Ditaruhnya sebuah map merah diatas meja dan langsung meninggalkan aku yang tak mampu berkata apa-apa. Map merah itu seperti sebuah tanda awal  penderitaan bagiku.

Baru saja beberapa bulan yang lalu, bahkan beberapa jam yang lalu aku berpikir untuk meninggalkannya bersama pria lain. Namun beberapa menit yang lalu aku kemudian tersadar dan memantapkan hatiku untuk selalu bersyukur dan berbahagia karena telah memilikinya didalam hidupku, kini baru saja beberapa detik berlalu dia sepertinya menjadi sumber penderitaan dalam hidupku.

Aku terus bertanya dalam benakku. Apa aku lah penyebab Angga minta bercerai. Apa Angga melihat Rian menggandengku di pantai, atau aku pernah salah berucap dihadapannya. Seribu tanya pun tak ada jawabanya saat ini. Aku harus mencari tahu.

Aku kemudian bergegas meninggalkan meja makan dan membawa map merah itu mengejar Angga untuk meminta penjelasan. Tapi dia sudah menghilang. Aku pun langsung menuju kamar hotel, barangkali saja Angga sudah berada disana. Tapi tak juga ku temui Angga. Aku memutuskan untuk menghubungi ponselnya, namun berulang kali, tak ada jawaban. Pikiranku semakin kacau, jantungku berdetak tak karuan. Aku berjalan bahkan setengah berlari tak tentu arah mencarinya di Hotel dan tak aku temui.

Kepalaku sangat terasa berat. Mataku tak mampu melihat dengan jelas ke sekelilingku. Kemana Angga, apa ini hanya mimpi, aku masih saja belum dapat percaya. Hari yang bahagia, seketika berubah menjadi malapetaka bagiku.

Tiba-tiba saja Rian muncul di hadapanku. Dan membawaku duduk di lobby. Tanpa sadar sepertinya sudah hampir satu jam aku kehilangan arah, beberapa orang tampak kebingungan memperhatikanku.

"Kamu sakit?" Tanya Angga dengan lembut. Namun aku hanya diam, bibirku terasa berat untuk berucap.

"Diandra, kayaknya kamu harus istirahat ke kamar deh, wajahmu pucat banget, apa kamu lagi ada masalah".

"Rian, please, bisa nggak kamu tinggalin aku sendiri, aku lagi nyari suami aku, aku mohon ama kamu" kata-kata ini pun terpaksa harus aku keluarkan.

"Oke, Diandra, oke,  tapi kamu harus istirahat, kamu jangan maksain diri kaya gini, tadi aja kamu hampir jatoh".

"Kamu kenapa sih, sok perhatian, denger yah, kita tuh baru aja kenal, aku nggak mau suami aku tersinggung karena kamu kaya gini". Aku pun memberanikan diri sambil menatap tajam ke arah Rian.

"Tapi, kamu kok tiba-tiba kaya gini, kamu bisa cerita sama aku, kamu kan temannya Wina, so, kamu teman aku juga".

"Maaf Rian, aku nggak bisa cerita ama kamu". Aku pun langsung pergi meninggalkan Rian menuju kamar.

Kepalaku masih sangat terasa berat. Ku rebahkan sejenak badan di kasur dan mencoba memejamkan mata. Namun tak bisa. Nampak di dinding waktu menunjukkan pukul 23.14 waktu Denpasar. Namun Angga tak kunjung kembali. Aku bingung harus berbuat apa. Ponselnya pun tidak aktif. Tidak mungkin aku bisa tidur dalam keadaam seperti ini. Aku belum siap kehilangan Angga. Semenjak selesai kuliah, aku belum pernah mendapat pengalaman apapun untuk berkerja. Aku tidak ingin kalau nanti bergantung hidup pada orang tuaku. Bagaimana dengan Tanisha, kalau pun aku resmi bercerai, Angga pasti akan merebut Tanisha dariku. Hak asuh pastilah jatuh di tangannya. Tidak akan aku biarkan.

Pikiranku sudah melayang kemana-mana. Berharap ini adalah mimpi. Berharap kejadian ini hanyalah sebuah prank dari Angga layaknya yang sering dilakukan orang-orang.

Aku pun memutuskan untuk mencari Angga disekitar hotel, bisa saja dia pergi menenangkan dirinya. Aku pun menuju ke cafe yang baru saja dibuka, kebetulan cafe itu menyatu dengan sebuah hotel yang lebih kecil dari hotel tempat aku dan Angga menginap, hotel itu di desain seperti rumah pada umumnya namun kamar yang tersedia sangatlah terbatas. Biasanya para pengusaha atau bos bos sudah lebih dulu membooking untuk perjalanan bisnis mereka. Meskipun baru dibuka hotel itu selalu full booked dan cafenya sangat ramai di datangi oleh para pengunjung karena pengunjung dapat menikmati udara pantai dimalam hari dengan modelnya yang semi terbuka dan letaknya pas sekali menghadap ke pantai. Setidaknya Rianlah yang banyak bercerita tentang cafe itu sewaktu kami di pantai. Tapi aku tak begitu tertarik dengan ceritanya.

Sesampainya disana aku bingung harus berbuat apa. Aku pun menghela napas panjang di tengah keramaian, sembari berpikir dengan tenang walau sulit. Aku pun memutuskan memesan segelas  Americano sebagai alibi untuk memperhatikan orang disekitar. Namun Angga tak terlihat. Ku hirup Americano dengan sangat perlahan sambil memperhatikan seorang wanita yang nampaknya ku kenali.

Aku pun berjalan memdekati wanita itu, "Wina," suaraku lantang memecah obrolan wanita yang sedang asyik dengan temannya itu.

"Diandra, kamu ngapain disini", balas wanita itu. Ternyata benar, dia adalah Wina sahabatku.

"Aku lagi liburan sama suami aku, kamu barengan ama Rian ya", jawabku

"Iya, kita lagi ada perjalanan dinas", balas Wina dengan agak sedikit terbata.

Dia seperti sangat kaget melihatku menyapanya. Baju yang dia kenakan pun sangat cantik malam ini. Nampak begitu mencolok dibanding pengunjung yang lain. Dandanannya pun seperti sudah direncanakan sebelumnya bahwa ia harus berpenampilan sempurna malam ini.

Ditengah kebingunganku, tiba-tiba saja seorang pria meminta perhatian para pengunjung. Suaranya begitu jelas terdengar karena menggunakan mic. Semua pengunjung pun teralih memperhatikan ke arah pria di depan itu termasuk aku.

"Mohon perhatian kawan-kawan, selamat malam buat kalian, terima kasih sudah meluangkan waktu kalian".

Aku pun memperhatikan dengan seksama, jelas sekali bahwa aku sangat mengenal suara itu. Namun mataku tak ingin percaya bahwa yang aku lihat tepat didepanku, pria yang sedang berbicara itu adalah Angga suamiku, seorang suami yang baru saja menceraikan istrinya tanpa alasan yang jelas.

Sepertinya Angga tidak menyadari bahwa aku berada di cafe tempat ia sedang berbicara. Kakiku seperti telah terpaku erat diatas lantai tempat aku berdiri.

"Malam ini, malam yang spesial buat saya, karena berbagai macam urusan, malam ini akhirnya kita bisa mengadakan pesta grand opening Cafe dan hotel saya ini".

"Apa, cafe dan hotel ini milik Angga", gumamku didalam hati dan tidak percaya dengan apa yang ku dengar.

"Terima kasih, karena kalian sudah menyempatkan hadir, malam ini terasa begitu istimewa, karena kita semua bisa berkumpul disini, sekaligus merayakan hari ulang tahun wanita yang sangat istemewa bagi saya, Wina".

"Apa, wanita yang sangat istemewa, maksudnya". Aku semakin tersudut mendengar pidato pria di hadapanku. Terlihat dari sudut mataku, Wina sedang menatap ke arahku yang sedang tercengang dan dengan jantung yang berdegup kencang.

Suara sorak gembira dan tepuk tangan orang-orang disekitar membuatku semakin terpuruk, aku adalah orang yang paling menyedihkan disini. Untuk apa aku berada disini, aku tidak diinginkan, bahkan bagi suami yang selama ini tak pernah mengecewakanku. Aku hanyalah sampah.

Lamunanku pun buyar seketika, karena tangan yang menarikku. Aku pun mengikuti langkah orang itu tanpa melihat disekelilingku. Semua seperti tertutup hujan deras. Otakku sedang tidak normal, padanganku tampak semua hanyalah entah putih enath abu-abu.

The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang