Dua Delapan

1.6K 206 16
                                    

Happyreading

***

"Di mana Kanaya?" (Namakamu) hanya menggeleng lemah saat mendapat pertanyaan yang ia sendiri tidak tahu apa jawabannya.

"Kamu nggak tahu dia kemana?" tanya Iqbaal kebingungan.

"Sepulang aku jalan-jalan, Kanaya udah mau pergi. Aku nggak tahu dia mau kemana," jelas (Namakamu) pelan. "Dia nggak bilang apa-apa."

Iqbaal mengembuskan napasnya berat.

Cobaan apa lagi, ini?

Tring.

Iqbaal langsung merogoh saku celananya saat benda pipih di dalam sana berdering. "Kamu di mana?" tanyanya langsung pada seseorang di seberang, (Namakamu) menajamkan pendengarannya saat suara yang tak asing itu terdengar.

"Apa?"

"..."

"Kanaya!"

Tut.

"Aaargh ... !!"

Iqbaal menggerbak meja sampai vas bunga bermodel angsa itu pecah, berantakan. Masih belum puas, Iqbaal malah menginjak serpihan vas itu, beling-belingnya menancap pada telapak kakinya yang tak beralas.

"Aws," ringisnya kemudian, (Namakamu) terlihat khawatir tapi takut mendekat. Ia hanya mampu melafazkan do'a disetiap gerakan matanya yang menatap gerak-gerik si suami.

"Duduk, Mas," pintanya saat Iqbaal mulai melangkah menjauh.

"Nggak!" tolak lelaki itu cepat, ia malah nekat berjalan dirinya ke kamar dengan keadaan sedikit pincang. Akibatnya, darah yang menetes dari telapak kakinya menetes di setiap pergerakan yang ia lakukan.

(Namakamu) mendengkus kesal. Padahal niatnya hanya untuk membantu, tapi lelaki itu tidak mau dibantu.

Sial.

Iqbaal mencabut serpihan beling di telapak kakinya perlahan, berusaha menahan rasa perih yang menjalar sampai ke relung hatinya.

Lagi-lagi, kenyataan yang tak ingin diingatnya memutar kembali. Bagaikan slide yang menari-nari.

*

Iqbaal tengah terlelap dengan kaki yang diikat oleh sapu tangan biru miliknya, tanpa dicuci terlebih dahulu.

(Namakamu) tersenyum dan berusaha sabar karena semua ulah suaminya itu. Dari membersihkan serpihan beling hingga tangannya terluka, lalu mengepel dari lantai bawah hingga ke kamar mereka; yang semulanya.

Peluh menetes dari pelipisnya, membuat anak-anak rambut yang keluar dari ikatan itu menempel di keningnya. Ia tersenyum kecut saat melihat sang suami tergelak tanpa mengganti baju, bahkan belum membersihkan lukanya yang bisa saja infeksi.

Perlahan, ia mendekat. Mengusap pelan rambut Iqbaal yang sedikit menggondrong, lalu mengecupnya lama.

"Semoga kamu baik-baik aja nantinya, Sayang," bisiknya lembut.

Rasanya sakit sekali melihat seseorang yang amat dicintai terbaring sakit walau itu karena kesalahannya sendiri. Walau ... orang itu juga selalu menoreh luka di hati.

Tapi bagaimana pun, ia itu orang yang kita cintai. Jadi, sebodoh apa pun, kita tidak akan pernah peduli.

Kemudian, (Namakamu) beralih pada kaki yang menggelantung di pinggiran tempat tidur. Tangan kirinya meraih ember bekas air pel dan mengganti airnya dengan yang baru di kamar mandi dalam kamar mereka.

(Namakamu) membersihkan bercak-bercak darah yang sudah lumayan mengering dari kaki sang suami, mengelapnya pelan menggunakan alkohol, supaya lebih steril. Setelahnya, ia mengambil kapas dan menempelkannya pada telapak kaki Iqbaal setelah diberi betadine terlebih dahulu.

Kemudian diambilnya plester dalam kotak P3K yang telah ia persiapkan sebelumnya, mengguntingnya kecil-kecil, lalu melilitkan kain kasa dan dieratkan dengan plester, lagi.

(Namakamu) tersenyum simpul melihat hasilnya yang lumayan untuk wanita lulusan ekonomi sepertinya.

Kemudian kembali meletakkan barang-barang tadi di tempat awal, lalu menarik pelan badan besar Iqbaal supaya lebih naik ke tempat tidur. Membuat tidurnya nyaman, tanpa memperdulikan perutnya yang tertekan karena sandaran punggung Iqbaal padanya.

"Selamat tidur, Mas," bisiknya lembut sambil memeluk mesra badan sang suami, membiarkan alam bawah sadar menguasainya setelah ini.

*

Iqbaal mengerjapkan matanya beberapa kali, terasa sekali sebuah tangan memeluk pinggangnya erat. Ia menoleh, mendapati (Namakamu) yang tertidur pulas di sampingnya. Nampak damai sekali wajah ayu itu.

Iqbaal tersenyum, tangan kanannya ia gunakan menepis beberapa helai rambut yang dengan kurang ajarnya menutup wajah damai istrinya itu, yang mengganggu penglihatan Iqbaal menikmati wajah polos tersebut. Entah sudah berapa menit berlalu, Iqbaal tak perduli tentang waktu. Yang ia pedulikan hanyalah bagaimana ia akan seperti ini hingga akhir dunia berlalu.

Ia mengembuskan napas beratnya lagi. Lalu menatap ke atas langit-langit kamar, menahan sesuatu agar tak terjatuh dari matanya. Panas.

Hati lelaki itu seperti sengaja digores takdir, lalu dioleskan garam lembut disetiap bekas goresannya hingga sakitnya berkali-kali lipat rasanya. Benar-benar perih.

Kenapa takdir begitu hebat dalam memberikan luka untuk hidupnya yang bahkan tanpa warna?

Iqbaal terkekeh, meratapi nasibnya yang begitu memilukan.

Perlahan, pelukan hangat wanita hamil itu bergesek, membuat Iqbaal langsung menutup matanya. Tak sanggup bila nanti harus menatap mata teduh tersebut, yang membuatnya ingin berteriak menyumpahi takdir.

(Namakamu) melepaskan pelukannya pada Iqbaal, lalu menduduki diri. Ia tersenyum senang saat menatap wajah sang suami. Mengelus kepala itu lagi, tapi Iqbaal malah membalik, membelakanginya.

(Namakamu) terkekeh sejenak, lalu menyisir rambut bagian belakang Iqbaal. Menyanyikan beberapa lirik lagu yang dihafalnya.

"You are my sunshine, my only sunshine."

"You makes me happy, when the sky is grey."

"You never know this, how much i love you."

"Please don't take, my sunshine noway."

Tanpa (Namakamu) sadari, Iqbaal tengah mati-matian menahan isakannya. Air matanya telah tumpah sejak awal, hanya saja suara isak yang tak ia suguhkan. Bahkan, tubuh yang seharusnya bergetar hebat itu ia matikan, agar tak menambah luka sang istri yang masih menangis di belakangnya.

Rasanya, seperti tercabik serta dihantam puluhan kali. Rasanya, seperti dikuliti dalam keadaan sadar dan minta ampun berkali-kali. Rasanya ... sesakit itu karena ego dan nafsu yang menguasai diri.

Rasanya ... ingin berhenti dan memilih mati.

Biarkan luka ini aku yang alami, kamu cukup fokus saja pada lukamu sendiri. Maaf jika caraku mungkin terkesan egois, tapi ketahuilah, aku seperti ini karena tak sanggup melihat air mata mengalir di wajahmu lagi. Tak sanggup lebih dalam menyayat hati yang sudah hampir seperti benda mati, berwarna hitam, lalu tak berbentuk lagi.

-Iqbaal Ramadhan.

*

Aku sedih😭😭😭

Tolong komennya Mentemen, kalian jahat banget jadi diem-diem gitu😭

I'am (Not) LateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang