Tiga Puluh

1.6K 201 18
                                    


Happyreading!

*

(Namakamu) melangkahkan kakinya perlahan, memasuki rumah yang telah memeluknya hampir sepenuh hidup itu. Ia melangkah gontai, menerawang jauh pada Aaron yang terkejut akan kedatangannya.

Dengan wajah pucat dan darah segar mengalir dari hidungnya, ia tersenyum perih pada sang kakak. Belum sempat mengatakan sepatah kata pun, tubuh ringkih itu merungsut terlebih dahulu. Jatuh.

Aaron berlari menghampiri adiknya yang tergeletak tepat di depan pintu rumah, ia menepuk-nepuk pipi tirus itu dengan tangan yang bergetar hebat. Goresan dipipi sang adik semakin memperbesar rasa takut pada diri sang kakak.

Panik. Sangat panik, apalagi darah segar itu tak kunjung berhenti mengalir dari hidung. Dengan badan yang bergetar hebat, Aaron membopong tubuh ringkih tersebut dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

Dalam perjalanan, Aaron telah mencoba menghubungi Keira, sang istri. Tapi wanita itu sama sekali tidak mengadahkan panggilannya. Bahkan, Iqbaal yang menjabat sebagai suaminya pun tidak mengangkat telpon.

"Sial!" makinya.

Namun detik selanjutnya, ia mengingat kalau adik kecilnya masih memiliki sahabat lain.

Arka.

*

Sesampainya di rumah sakit, ditemani Arka yang juga tengah mondar-mandor di depan ruang IGD. Aaron tak henti-hentinya melafazkan do'a, berharap adik kecilnya yang kini telah berbadan dua itu baik-baik saja. Entah firasat atau bukan, yang pasti Aaron merasa adiknya tidak baik-baik saja.

"Kak, Iqbaal udah ada kabar?" tanya Arka menduduki dirinya tepat disamping Aaron yang gelisah. Gelengan pelan memberikan jawaban, Iqbaal tidak memgangkat telefon.

Btw, rumah sakit yang tempat (Namakamu) dibawa sekarang berbeda dengan rumah sakit yang biasa tempatnya kontrol.

Dokter muda dengan fostur badan tinggi tegap keluar ruangan dengan gelengan lemah. Aaron dan Arka sontak kehilangan akal karena terkejut.

"K-kenapa?"

"Keluarganya siapa?" tanyanya dengan tegas.

"Kami keluarganya," jawab Arka cepat. Dokter itu mengangguk.

"Begini, apakah pasien pernah menceritakan penyakit yang diidapnya?" tanya sang dokter yang membuat dua pria itu saling pandang, kebingungan.

"Penyakit apa? Setahu saya dia cuma penyakit takut ulet, Dok," jawab Arka dihadiahi tonjokan ringan pada lengannya oleh Aaron.

"Itu bukan penyakit, Dodol!" kesal Aaron setengah jengkel. Arka cuma nyengir. "Maksud dokter, penyakit gimana?" tanya Aaron lagi, dokter itu tersenyum padanya.

"Pasien mengidap penyakit yang cukup serius." Pria itu memandangnya lekat. "Kanker,"

Aaron dan Arka tertawa ngakak mendengar penuturan dokter yang menurut mereka lagi bercanda, tapi, sialnya bercandanya menyayat hati.

Dokter muda itu memandang datar pada dua spesies di depannya. 

"Dokter bercanda, 'kan?" kata Arka menyenggol lengan dokter itu, Aaron lagi, tak kalah stress, ia malah merangkul bahu dokter yang bahkan ia tak ketahui namanya siapa tersebut.

"Dok, ikut aja deh di ILC, lawakannya lucu banget! Sumpah, bikin ngakak!"

"Maaf, Pak. Tapi saya tidak lagi bercanda atau sejenisnya. Sebaiknya, jika bapak-bapak merasa saya menyerukan berita mematikan dan dianggap bercanda, dengan hormat saya menyusulkan unyuk konsultasi ke psikiater," suruh sang dokter datar.

I'am (Not) LateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang