"Tidak percaya diri bukan berarti menghina ciptaan Tuhan, melainkan itu caraku merespon perkataan kalian." - Dari Daisy yang berbagi kisah untuk perempuan kuat diluar sana.
.
Copyright tiamaqrifah
Cover image from pinterest
🌼🌼🌼
Perhatian!
Cerita...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
. . .
|| Prologue ||
"Lebih tinggi, Mas! ke atas lagi."
Semilir angin sore yang kencang sangat mendukung untuk bermain layangan di halaman. Riuh anak-anak perumahan yang juga bermain layangan menambah semarak sore ini. Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun ikut bermain layangan. Seperti mas Akas, Orion, Ayah, dan yang spesial bagiku.
"Awas itu ada layangan lain! ulur lagi mas, tarik aja deh, tarik!" teriakku heboh. Ternyata anak-anak ini pandai juga bermain layangan, "Yah ... kok putus sih, mas?"
"Kamu cerewet sih," ujar mas Aska menubruk pundakku.
"Yaudah deh," ujarku menggerutu. Daripada terus disalahkan, mending ke kamar saja, "Kalian nyebelin!"
Bukannya membujuk, para laki-laki itu malah menertawakanku termasuk ayah. Dasar ya, semua laki-laki nggak peka. Kubanting pintu kamar cukup keras. Peduli setan jika nanti engsel pintunya lepas, aku sedang kesal. Bahkan, setelah duduk manis di depan meja rias, tawa mereka masih mengusikku. Menyebalkan.
Pelan-pelan kutatap pantulanku di cermin. Masih sama. Kulit kuning langsat, rambut bergelombang, gigi bergingsul, satu dua bekas jerawat dan hidung yang mancung ... ke dalam. Entah kenapa tiba-tiba hatiku berdesir nyeri. Kilas balik yang tak pernah bisa kulupakan seolah dibangkitkan kembali.
"Euh, jerawatan!" "Duh pabrik minyak ya itu muka? Haha." "Orangnya cantik sih, tapi mukanya dekil."
"Argh ... sial, kenapa itu lagi. Hiks ... hiks." Kututupi wajahku dengan kedua tangan, menunduk, menangis.
Tak lama, kuusap kasar air mata yang terlanjur jatuh dan membasahi pipi. Menarik laci meja dengan tidak sabaran sampai-sampai meja rias ikut bergetar. Hari sudah semakin petang, suara riuh di luar sana juga mulai menyurut. Dengan seberkas cahaya remang dari jendela kamar yang aku buka, kutulis sesuatu dalam buku catatan. Sembari sesekali meneteskan air mata dan menengok ke jendela, barangkali sang senja sudah benar-benar menghilang.
Helaan napas panjang terdengar setelah kubanting pena hitam yang baru saja digunakan itu. Kembali menunduk, menyenderkan kepala dalam lipatan tangan di atas meja. Kenop pintu dibuka perlahan. Tanpa memastikan, aku sudah tahu siapa yang datang. Dia mengelus suraiku pelan, mengangkat buku catatan tersebut dan membacanya.
Tubuhku menghangat. Tiba-tiba dia merengkuhku sangat erat. Semangat dan kepercayaan diri mulai merambat masuk ke dalam sela-sela hati. Sungguh, mungkin aku akan sangat terpuruk tanpanya.
∆∆∆
Hari ini, aku kembali bertemu dengan bayanganku yang bahkan tak ingin aku ingat lagi. Hari ini, aku kembali mempertanyakan tentang kecantikan. Apasih cantik itu? Standard apa yg bisa kita tetapkan untuk mengukur kadar kecantikan?
Ah sudah lah. Orang-orang tidak pernah menjawab sama persis satu dengan yang lain ketika ditanya perihal cantik. Haruskah setiap perempuan berlomba-lomba menjadi cantik untuk memenuhi kriteria masing-masing orang? Mustahil.
Manusia kadang tidak konsisten. Hari ini "si X" bilang "cantik itu kulitnya putih."
Setelah ada gadis berkulit putih datang dengan rambut kriting menghadapnya, dia bilang apa? "Ah, ini tak cantik, cantik itu rambutnya lurus."
Hari selanjutnya ada gadis berkulit putih, rambut hitam panjang yg lurus, dan sedikit jerawat di pipinya "si X" berkomentar "cantik itu tak berjerawat" dan bla ... bla ... bla. Begitu saja terus. Tak ada ujungnya. Ah, semua ini membuatku muak.
Banyak orang menuntut suatu kesempurnaan tanpa berfikir sempurna itu hanya milik Sang Maha Kuasa.