Chapter 11

7 3 0
                                    

Kak Jun yang melihat aku menangis mendekatkan dirinya lalu memelukku untuk menenangku.
"Maaf" ucapanya dengan lirih.
Aku yang mendengarnya seperti itu melepaskan pelukannya dan menghapus air mataku dengan kasar.
Aku menatap tajam Kak Jun dan memukul-mukul dada bidangnya Kak Jun, tanpa berbicara sepatahkatapun.
Kak Jun yang sudah merasa lelah melihatku memukul dadanya, menghentikan tanganku dengan kasar.
"BOA..." ucap Kak Jun yang membuatku menghempaskan tangan Kak Jun dengan tidak kalah kasarnya dan mulai mendengarkan apa yang ia akan bicarakan.
"BOA bukanlah tempat yang lemah sepertimu."ucapnya dingin yang membuatku menoleh kearahnya dan menatapnya tajam.
"BOA bukanlah pertempuran siapa yang menang atau kalah tapi antara mati dan hidup. Kalau kau hanya memiliki kemampuan seperti ini, maka kupastikan kau sudah mati duluan." jelas Kak Jun membuatku berpikir kembali.
"Sebelum kau menyesal, putuskan semuanya itu dengan baik-baik." ucap Kak Jun kemudian meninggalkanku dibangku sendirian.
"Tunggu." ucapku setengah berteriak sebelum Kak Jun pergi terlalu jauh.
Kak Jun berhenti dan membalikkan badannya dengan tangan yang dimasukkan kedalam saku celananya.
Aku berjalan mendekatinya dan melihat manik-maniknya dengan lekat.
"Aku tak akan menyerah apalagi mundur. Aku tak punya alasan untuk melakukan itu dan juga aku tak akan pernah seperti itu." ucapku dengan yakin dan tersenyum kearahnya.
Kak Jun menghembuskan napasnya dengan kasar.
"Baiklah, besok kita kembali latihan dan juga ada ingin Kakak bicarakan mengenai BOA. Maaf untuk yang tadi." ucapnya lembut sambil mengelus kepalaku yang terbalut oleh jilbab.
Kami memutuskan untuk kedapur, melanjutkan kembali pembicaraan mengenai BOA.

Keesokan harinya disekolah aku terus memikirkan ucapan Kak Jun.

~ Flashback on ~

"Kau tahu BOA adalah tempat dimana kau mempertaruhkan nyawamu." ucap kak Jun yang membuatku tak mengerti.
"Maksudnya apa kak?" tanyaku sambil meminum susu yang sudah mulai hangat.
"Kau akan tahu apa maksudnya itu ketika kau mengikutinya tapi mereka yang lemah akan kalah duluan dan kau tak akan merasakan apa artinya itu. Sudah lama sekali sih Kakak mengikutinya tapi entah kenapa kakak masih merasakan bagaimana rasanya hal itu. BOA melatihmu juga sebagai seseorang petarung yang handal bukan jarak jauh saja tapi jarak dekatpun kau harus menguasainya, karena itulah dalam kondisi apapun kau harus siap baik itu menjadi penyerang dan petarung." ucapnya panjang lebar.
"Jarak dekat? Bukankah BOA mengandalkan jarak jauh saja karena itulah mereka menggunakan panahan?" tanyaku.
"Memang awalnya BOA mengandalkan pertarungan jarak jauh tapi akan ada suatu ketika kau harus berhadapan satu sama lain diarena pertarungan." jawabnya.
"Eh sepertinya akan lebih menarik. Kalau begitu ajari Nana beladiri dan caranya menggunakan pedang (swordlight) dengan baik." acapku meminta bantuan kepadanya.
"Baiklah, mulai besok kita latihan dengan keras! Sekarang kau kembalilah kekamar, langsung tidur biar besok gak kesiangan!" ucapnya dengan lembut.
"Makasih, kak." ucapku sambil mencium pipinya dan berlari menuju kamar.

~ Flashback of ~

Saat jam istirahat aku memutuskan untuk menuju kekantor kepala sekolah.

"Tok..tok..tok.." ( suara pintu diketuk )
"Masuk!" ucap seseorang didalam yang terdengar samar.
"Assalamu'alaikum." salamku sambil menutup pintu kembali dan mendekati meja sang kepala sekolah.
"Wa'alaikumussalam. Kau sudah putuskan?" tanya kepala sekolah dengan tidak sabaran.
"Saya sudah putuskan, saya akan mengikutinya." jawabku yang membuat kepala sekolah sumringah tersenyum lebar.
"Lalu bagaimana dengan partnernya?" tanyanya kembali.
"Partnernya sekelas dengan saya........ Namanya Muhammad Rian." jawabku dengan ragu.
"Ikhwan?" tanyanya kembali.
"Iya bu." ucapku dengan tersenyum kikuk.
"Baiklah, ibu izinkan tapi tahu batasnya dan juga sepertinya Direktur tidak akan setuju dengan hal ini, maka dari itu berlatihlah sendiri-sendiri." ucapnya dengan tegas membuaku terpaku terdiam ditempat.
"Baik, bu. Terima kasih dan juga saya permisi dulu bu. Assalamu'alaikum." pamitku.
"Wa'alaikumussalam." jawab ibu kepala sekolah.

Sesampainya dikelas aku tak menemukan Rian hingga aku harus mencarinya keruang klub memanah dan benar saja ia ada sini.
"Assalamu'alaikum." ucapku ketika memasuki ruangan tanpa perlu menutup pintu.
"Wa'alaikumussalam." jawab Rian sambil meletakkan alat panahan.
"Jadi bagaimana?" tanyanya sambil duduk dikursi panjang.
"Aku sudah bilang ke kepala sekolah kita diizinkan." ucapku sambil ikut duduk diujung kursi tersebut untuk menjaga jarak dengannya.
"Terus kapan kita latihan?" tanyanya yang membuatku terpaksa harus menjawabnya.
"Kita latihan masing-masing, kepala sekolah tidak mengizinkan kita untuk latihan bersama apalagi tidak ada pembimbing atau pengawas." jawabku menjelaskannya.
"Oh baiklah kalau begitu kau latihan disini saat jam istirahat. Aku akan latihan dari pulang sekolah sampai pulang." ucapnya dengan tenang tanpa harus mempermasalahkan hal itu dan aku merasa bersalah karena harus membuatnya pulang terlambat.
"Maaf....dan juga terima kasih." ucapku dengan lirih.
"Never mind, lagipula aku menyukainya." ucapnya yang membuatku setidaknya sedikit lega.
"Kalau begitu ayo kekelas." ucapku sambil pergi mendahuluinya.

Sudah 1 minggu aku berlatih dengan keras bersama Kakakku.
Tidak terasa seiring berjalannya waktu, besok lusa aku akan sudah berada di Yogyakarta untuk mengikuti BOA.
Hari ini seperti biasanya aku sekolah dengan waktuku yang selalu ditemani Zia membuat waktu sekolahku lebih berwarna.

"Nana!" seru Zia sambil menghampiriku yang duduk dikantin.
"Hai!" ucapku melambaikan tangan.
"Kau nunggu lama?" tanyanya sambil duduk dibangku yang ada dihadapanku.
"Gak juga...nih" jawabku sambil menyodorkan minuman.
"Makasih." ucap Zia sambil membawa minuma dari tanganku dan meneguknya cepat.
"Haus apa doyan?" tanyaku kepadanya tak percaya melihatnya menghabiskan minuman yang mulanya penuh.
"Dua-duanya." jawabnya dengan nyengir yang tak bisa membuatku menyembunyikan senyuman.
"Na!" seru Zia dengan masih nyengir-nyengir gak jelas.
"Apa?" tanyaku dengan wajah datar seperti biasanya.
"Kelapang yuk!" pintanya dengan nada memohon.
"Ngapain?" tanyaku.
"Dilapang ada pertandingan basket." jawabnya.
"Gak ah males" jawabku yang sepertinya Zia tahu alasanku menolaknya.
"Ayo deh Nana sekali aja. Lagian kalau kamu ngelihatnya dijamin semangat ngitung-ngitung ngumpulin buat besok lusa kamu lomba." ucapnya dengan menaik-menaikan alisnya.
"Gak deh, kalau kamu mau nonton sendirian aja deh." ucapku dengan mengalihkan pandangan.
"Moh Nana gak seru deh" ucap Zia cemberut lalu berdiri mendekatiku dan menarik tanganku dengan paksa menuju lapangan.

~ Wuah Nana bentar lagi beraksi nih sama Rian.
~ baca terus lanjutannya biar makin menarik
~ jangan lupa comment and votenya ya!
~ Thank's

The last archerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang