chapter 13

8 3 0
                                    

"...Laa Illaha illallah..." suara adzan 'ashar membangunkanku. Mau tak mau aku harus menjalankan kewajiban umat muslim salah satunya yaitu mendirikan sholat.
Dengan langkai gontai kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi mengambil air wudhu.

Selesai mendirikan sholat ashar dilanjut al- ma'tsurot petang.
Seseorang mengetuk pintu kemudian menerobos masuk tanpa kupersilahkan dan duduk dikasur begitu saja tanpa memperdulikan wajahku yang sudah menahan marah.

"Apa?" tanyaku dengan ketus sambil merapihkan mukena.
"Latihan?" ajak Kak Jun.
"Istirahat dulu ya, baru besok kita battle gimana?" tawarku sambil duduk disebelahnya.
"Hem..." jawabnya dengan pandangan yang masih fokus dengan handphonenya.
"Na!" serunya.
"Apa kak?"tanyaku ketika dia memanggilku.
"Papah manggil." jawabnya.
"Kenapa gak bilang daritadi." ucapku beranjak pergi dan meninggalkan kak Jun yang masih asik dengan gadgetnya.

Setibanya didepan ruangan Papah, aku menarik nafas terlebih dahulu untuk menghilangkan rasa gugup.
"Tok..tok..tok" (suara pintu diketuk)
"Masuk.." ucap seseorang dari dalam dengan suara beratnya.
"Assalamu'alaikum." ucapku memasuki ruangan tersebut.
"Wa'alaikumussalam. Kemana saja?" tanya Papah ketika aku berdiri didepan mejanya.
'Cih bukannya disuruh duduk dulu' dumelku dalam hati.
"Tadi Nana ketiduran, Pah." jawabku dengan jujur.
"Udah sholat?" tanyanya yang tiba-tiba sok perhatian.
"Udah." jawabku kembali dengan malas.
"Jadi besok lusa kan lombanya?" tanyany kembali membuatku was-was.
"Iya, pah." jawabku.
"Papah tak mengizinkannya." ucapnya tiba-tiba membuatku tak percaya.
"Maksudnya Pah? Bukankah waktu itu Papah ngizinin." ucapku mencoba mengelaknya.
"Apa kau mencoba menipu Papah? Papah tahu partnermu seorang laki-laki dan Papah tidak mengizinkannya." ucapnya dingin.
"Lalu apa masalahnya Pah, lagian Papah udah ngizinin waktu itu. Kepala Sekolah tidak mempermasalahkannya, lalu bukankah Papah yang sebagai Direktur Sekolah pasti sudah tahu hal ini bahkan dari jauh hari sebelum Papah ngasih izin. Terus kenapa Pah, kenapa Papah seenaknya berubah pikiran?" tanyaku dengan air mata yang sudah tidak bisa dibendung.
"Pah, Nana gak mau jadi anak durhaka Pah karena Nana sering ngelawan Papah jadi karena itu tolong Pah, hanya untuk kali ini saja jangan hancurkan impian Nana." ucapku sambil membungkukkan diriku dengan air mata yang masih mengalir.
"Kalau kau benar-benar ingin melakukannya Papah izinkan asalkan ada satu syarat." ucapnya membuatku mengembalikkan posisi dan berdiri tegak melihat Papah yang menatapku tajam.
"Setelah perlombaan ini selesai jangan pernah mengikuti klub memanah, apapun alasannya dan Papah akan jadwalkan waktu mu yang kosong dengan pelajaran tambahan. Jaga interaksimu dengan partnermu, Papah tak ingin mendengar isu apapun dengan partnermu." ucapnya membuatku tak percaya pasalnya anak yang lain ketika akan lomba diberi semangat oleh orang dekatnya apalagi orang tua, nah ini seorang Papah seenak jidatnya ngasih syarat.

Tapi daripada jadi anak durhaka gak dapat izin terus nanti maksain, bisa-bisa repotkan.
Jadi gak ada pilihan selain mengikuti intruksinya.

"Baik, Nana setuju akan syarat itu. Nana tidak akan mengikuti klub memanah dan juga In syaa Allah Nana bisa menjaga interaksi dengan ikhwan." ucapku yakin dengan air mata yang sudah mengering.

Pembicaraan selesai, akupun keluar dari ruangan.

Keesokan harinya aku kembali sekolah seperti biasanya tapi ada yang tidak seperti biasanya.
Entah kenapa kak Jun seolah-olah tidak bersikap seperti biasanya, akhir-akhir ini ia seperti menjauhiku.
Yah aku tidak terlalu memikirkannya, takut ini semua hanya perasaanku saja karena itu akan aku tanyakan saja nanti saat battle bersamanya.

Siangpun berlalu dengan cepat, sepulang sekolah aku dijemput oleh kak Jun dan pergi ketempat biasanya kita latihan.
Kak Jun pun tak menyapaku apalagi membuka pembicaraan diperjalanan jadi lebih baik aku bungkam saja.

Kami sampai ditempat yang kami tuju dan Alhamdulillah cuaca tidak terlalu panas.
Kami pun bersiap-siap tanpa banyak bicara. Ia hanya memberiku interuksi dengan singkat, jelas dan padat. Tuh kan tidak terlihat seperti biasanya, bahkan ia memberitahuku dengan wajah murung.

Dalam jarak 7m ini, aku telah bersiap-siap dengan pedangku (lightsaber) begitupun juga kak Jun.
Hingga akhirnya suara peluit berbunyi menandakan battle dimulai.
Aku memberanikan diri dengan berlari kearahnya dan menghunuskan pedang ke perutnya namun ia tangkis dengan cepat hingga kami beradu pedang, saling menghunuskan dan mengelaknya.

"Jangan pegang pedangmu terlalu kuat nanti tanganmu yang sakit dan juga jangan pegang pedangmu terlalu lemah nanti pedangmu terpental. Maka dari itu pegang pedangmu dengan perasaan dan ayunkan sehingga ia bisa menebas apapun."

Kata-kata yang diberikan kak Jun saat itu selalu terngiang bahkan sekarang. Karena itu meski lawanku Kak Jun, aku tak akan kalah darinya.

Waktu terus bergulir kami masih saling mengadu pedangnya hingga akhirnya pedang kami sama-sama terpental jauh.
Aku menahan tangannya yang akan akan memukul bagian perutku. Aku menahan tangannya dan sekuat tenaga aku mendorongnya sehingga ia beberapa langkah menjauhiku.

"Kak beberapa hari ini kakak kelihatan aneh!" ungkapku disaat kami beradu tinju.
"Benarkah?" tanyanya dengan mengatur nafasnya.
"Eh.." jawabku singkat dengan nafas yang sudah tidak beraturan.
"Itu mungkin perasaanmu." ucapnya ketika kita saling menahan tangan dengan wajah yang berdekatan.
Beberapa detik ini battle sempat terhentikan dan kulihat manik-manik kak Jun begitu lekat.
"Kakak bohong." ucapku sambil menghempaskan tangannya dan mengambil tangan kirinya lalu berdiri membelakanginya dan membanting tubuhnya ketanah dan menidihnya lalu memukul wajahnya namun ia masih bisa menahannya dan melemparku asal mejauhi tubuhnya.
Kami berdua mengambil ancang-ancang untuk saling menendang, hingga aku menendang dadanya dan kak Jun menendang sedikit bagian bahuku karena sebelumnya aku sempat menghindar.
Terlihat kak Jun memegang dadanya menahan rasa sakit.
Merasa bersalah aku pun menghentikan battle dan mendekatinya, menyodorkan tangan untuk membantunya berdiri namun ia menepis tanganku dan berdiri dengan rasa sakitnya.
Ketika ia melewatiku dengan cepat aku menahan tangannya yang kosong sekuat tenaga.
"Jangan seperti ini, aku sudah muak." ucapku menahan amarah yang sudah tidak tahan dengan sikapnya.
Kami pun saling bertatapan tatapan tajam. Tak ada dari kami yang ingin melerainya, hingga akhirnya kak Jun melepaskan tanganku dengan menghempaskannya keras dan aku tidak bisa menyeimbangkan tubuhku yang akan terjatuh.
Membuatku menutup mata dan menahan pedihnya terjatuh ketanah.
Namun aku tak merasa apapun hanya sebuah tangan yang melekat dipinggangku hingga aku tidak terjatuh.
Kubuka mataku dan terlihat kak Jun menatapku dengan sayu.

"Kau lah yang seharusnya tidak seperti ini, jangan pernah ingatkan ku kembali mengenai hal ya ingin kulupakan." ucapnya menahan tangisan.

The last archerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang