KECELAKAAN DI GUNUNG
#NWR #PERWITA #FIKSI #ROMAN #REBORNTidak seperti biasanya, belum separoh jalan Perwita sudah merasa kelelahan. Gunung Penanggungan bukan medan yang berat, mereka tidak menginap, berangkat gelap dan targetnya sudah pulang sebelum magrib. Gadis itu sudah pernah ke Gunung Gede, Gunung Rinjani dan turun ke kaldera berkemah di tepi danau Segara Anakan, bahkan sudah ke puncak Semeru, yang lerengnya berpasir, bila tidak hati-hati bisa meluncur ke jurang saat turun.
‘Apakah seperti ini rasanya separoh jiwa pergi?’ gumamnya sambil melangkah terseok-seok.
Perwita sudah pernah naik ke puncak Gunung Penanggungan lewat jalur Kedung Udi. Sama seperti jalur Jolotundo yang sedang dilewatinya sekarang, jalur Kedung Udi juga melewati sejumlah situs purbakala, tapi jalur itu lebih pendek.
‘Pasti karena pengkhianatan Damon ....’ pikirnya galau, kemarin ia memergoki Damon tidur dengan Kumala, adiknya.
Perwita tidak menyalahkan bila Damon menyukai adiknya, perempuan itu lebih cantik dan lebih montok, dadanya lebih membusung, sudah menjadi rahasia umum kaum adam lebih suka perempuan dengan payudara lebih besar, tapi mengapa lelaki itu memilihnya sebagai pacar, bukan Kumala?
Kepalanya agak pusing, langkahnya semakin berat, ditambah masalah dengan Damon, Perwita lengah, tidak berhati-hati melangkah, terpeleset jatuh ke jurang.
“Tolong!” teriaknya menyambar tanaman rambat.
Rombongannya segera berhenti, dan berusaha menolong. Perlengkapan mereka tidak lengkap karena tidak ada rencana menginap dan ini bukan jalur sulit yang berbahaya, mereka tidak membawa tali-temali.
Hamdani berhasil menangkap tangannya, ia memindahkan pegangan ke pemuda itu, sementara yang lain berbagi tugas, ada yang memegang Hamdani, sebagian lagi mencari cara membantunya naik.
“Jangan lepaskan, Wita!” Hamdani panik, ia merasakan pegangan gadis itu lemah, ia ingin memegangnya, yang bila dilakukannya, mereka berdua akan terhempas ke jurang dalam.
“Ayo cepat! Wita lemah, aku kuatir pegangannya lepas,” teriaknya kepada rombongan.
Hendrata berpegangan ke tanaman rambat turun ke sebelah Perwita, ia menarik-nariknya mengecek kekuatannya, lalu memeluk pinggang gadis itu.
“Peluk aku!” perintahnya, Perwita memindahkan tangannya satu-persatu dari lengan Hamdani, melingkar ke leher Hendrata.
“Pegang yang erat ya,” jantung Hendrata berdetak kencang, harum tubuh Perwita merasuk hidungnya, ‘bukan saatnya, sayang ....’ ia menenangkan gejolak jiwanya, ‘ini sedang gawat.’
Sudah lama Hendrata menyukai Perwita, tapi tak berani menyatakannya, begitu ingin ia memeluk gadis itu, dan saat keinginannya terkabul, waktunya sungguh tidak tepat.
“Jangan lepaskan,” bisiknya, lalu ia melepaskan pelukannya, menggunakan kedua tangan memanjat ke atas.
Perwita memeluk leher Hendrata seperti yang diminta, ia menutup mata, merasakan tubuhnya melekat erat ke pemuda itu, perlahan bergeser ke atas, sedikit sakit di punggungnya tergores tanaman liar di tebing. Kepalanya terasa berat, tenaganya semakin lemah. Keduanya sudah sampai ke bibir jurang, satu tarikan lagi dan teman-temannya bisa meraihnya, saat itu pelukannya di leher Hendrata merenggang dan terlepas. Hamdani yang bersiap menangkap tangannya terkejut, berusaha meraih, hampir saja ia ikut terjerumus jatuh bila tak ada teman yang berhasil menarik jaketnya.
“PERWIITTAAAAAAAA ...!” jeritan pemuda itu menggema di lereng gunung bercampur dengan teriakan ngeri si gadis yang meluncur deras ke jurang tak berdasar.
Hendratapun kaget, hampir saja pegangannya terlepas dan ikut terhempas turun. Tarikan pada lengannya menyadarkan dan ia segera melanjutkan merambat naik. Begitu ia menjejakkan kaki di tempat yang aman, sebuah tinju mengenai rahangnya, ia jatuh terjengkang.
“Hamdani!”
“Mengapa kaulepaskan dia, hah?” Pemuda yang marah itu bersiap memukul lagi, teman-temannya segera memisahkan mereka.
“Perwita yang melepaskan pelukannya! Kedua tanganku sedang memanjat, aku bukan Betara Siwa, tanganku hanya dua!”
“Kau sengaja! Perwita menolak cintamu, dan sekarang kau membuatnya jatuh ke jurang!” Hamdani jatuh terduduk menangis terisak-isak, ia juga mencintai Perwita, tapi gadis itu menjatuhkan pilihan ke Damon.
Ketua rombongan membuka peta, menandainya, dan memberikan komando memberikan tanda lokasi sekitar situ.
“Tak ada gunanya kita menunggu di sini, sekarang kita turun dan mencari pertolongan team SAR.”
**Perwita melihat tubuhnya jatuh terhempas ke batu, ada bunyi krek di punggung, tapi tak merasakan sakit, jasad itu diam tak bisa bergerak, apakah mati? Gema suara Hamdani memanggil namanya masih terngiang di telinga, ia menoleh ke atas, lalu level pandangannya berubah, bisa melihat Hendrata jatuh oleh pukulan pemuda itu, tuduhannya, jatuh terduduk menangisinya. Apakah Hendrata dan Hamdani mencintainya?
Rombongan itu bergerak meninggalkan lokasi, ia memanggil mereka satu-persatu, menanyakan mengapa mereka tidak menolongnya? Tak ada yang memperdulikannya, sementara gerimis rintik-rintik turun membasahi bumi, bersama linangan air matanya.
Damon mengkhianatinya, sesaat tadi ia mengira akan mendapatkan cinta pengganti dari Hendrata dan Hamdani, tapi merekapun meninggalkannya. Level pandangannya berubah lagi, ia melihat tempat itu dari atas laksana drone, samar-samar dilihatnya seperti ulat bergerak, pasti itu rombongannya turun ke pos 1.
Sesosok berpakaian putih dan bercahaya berdiri di sampingnya.
“Kau mau kembali, atau pergi bersamaku?”
“Siapa kau?”
“Aku petugas yang menjemputmu,” jawabnya.Masih dengan level yang sama sekarang ia melihat dalam rumahnya, Kumala sedang tertawa bersama ibu dan kakaknya.
“Belum ada kabar, ya, Ma?” tanya Kumala.
“Sabarlah,” jawab ibunya, “obat itu paling ringan, efeknya tidak bisa seketika. Selain itu, kita tidak tahu apakah Perwita langsung meminum habis air sebotol itu. Mungkin saja ia meminumnya saat turun, jadi kita harus sabar menunggu lewat tengah hari.”
“Mengapa Mama tidak memberikan obat yang lebih keras?” tanya Basuki, kakak Kumala.
“Lalu ia pingsan sekali teguk sebelum mendaki? Anak bodoh. Kita harus bermain cantik, kalian tak mau berakhir di penjara, kan?”
Air mata Perwita mengalir deras mendengar pembicaraan ini, ibu Kumala dan Basuki memang bukan ibu yang melahirkannya, tapi selama ini ia mengira dicintai, tak sedikitpun ia menyadari kebencian mereka sebesar itu.
“Lalu bagaimana Damon?” tanya ibunya.
“Tugasnya sudah selesai, aku sudah membayarnya dengan tidur semalam denganku ....” jawab Kumala.
“Memang segampang itu mendepaknya?”
“Aku sudah merekamnya,” Basuki yang menjawab, “Kalau ia macam-macam, akan kutuntut ke pengadilan dengan tuduhan meniduri anak di bawah umur.”
“Aku bukan anak kecil,” Kumala menjulurkan lidahnya.
“Dua bulan lagi kau merayakan ulang tahun ke tujuh belas, sekarang belum punya KTP, masih masuk kategori di bawah umur.”“Apakah kau mau kembali?” tanya sosok putih berkilau itu menyentakkan Perwita.
“Tak ada gunanya aku hidup ....”
Lalu ada sosok lain mendekat, memanggil namanya lembut, “Perwita.”
“Mama!”
Perwita menghambur ke pelukannya, ibu kandung yang dirindukannya.
“Harus mengambil keputusan sekarang,” kata ibunya, “ikut bersama kami meninggalkan semua, ataukah kembali.”
“Aku mau ikut Mama,” jawabnya mantap.
Tiba-tiba mereka sudah kembali di dasar jurang, Perwita memandang jasadnya yang diam tak bergerak, wajah cantiknya masih utuh, tapi posisi lengan dan tungkainya sedemikian rupa, mungkin patah?
Waktu sosok putih berkilau itu menggandeng tangannya mengajak pergi, ada yang datang, seorang perempuan berkerudung, umurnya hampir tiga puluh memandangnya penuh harap.
“Bila tidak dibutuhkan lagi, bolehkah ragamu kupinjam?”
“Siapa kau? Apa maksudmu meminjam ragaku?”
“Ada jiwa di masa lalu yang mencuri jasadku, dan aku tak bisa pulang karena waktuku belum tiba ....”
“Kau toh sudah tidak membutuhkannya lagi,” seorang lelaki tua yang datang bersama perempuan itu menimpali.
“Boleh saja,” Perwita tersenyum, ada pikiran nakal terlintas di benaknya, “Keluargaku jahat, kerjain mereka.”
“Wita!” ibunya menegur.
“Terserah kakak ini, Ma,” Perwita tertawa, “Kalau lemah sepertiku, hidupnya sebagai Perwita seperti di neraka. Ia harus bisa menjaga dirinya sendiri, kupikir Papa juga tak bisa melindunginya.”
“Baiklah,” jawab perempuan berkerudung itu, “Namaku Arlisah, sebagai ucapan terima kasih, setiap hari kematianmu selama tujuh tahun berturut-turut aku akan menaburkan bunga dari atas tebing sana, dan mengirimkan doa untukmu.”
“Password emailku Damon, lelaki bangsat itu,” desis Perwita, “aku menyimpan satu file jurnal hidupku, namanya Perwita, passwordnya sama.”
“Satu lagi ... aku tidak berkerudung ....” Perwita melayang meninggalkan tempat itu bersama ibunya dan sosok putih berkilau.bersambung
Surabaya, ditulis 3 Nopember 2019, diedit 8 April 2020

KAMU SEDANG MEMBACA
PERWITA bangkit dari kematian
RomanceAda yang masih ingat Arlisah di Lost Soul? Arlisah mendapatkan jasad untuk exist di dunia nyata, raga Perwita yang diracun ibu tirinya sehingga terpeleset masuk ke jurang. Dan Perwita yang baru ini kembali untuk membalas dendam. Gegara selesaikan...