Senna menatap sendu pada pasangan yang tak jauh darinya berdiri, saat keduanya bertatapan Senna segera tersenyum sebagai penyemangat untuk orang yang di cintainya. Hatinya kembali sakit dan itu harus Ia tahan, karena sekuat apapun Senna tetaplah kalah dengan gadis-gadis di luar sana. Hatinya terlalu rapuh, namun demi kebaikan Gavin sang cintanya Senna mau mengorbankan rasa bahagianya tergantikan sakit hati.
Lebih baik Senna pergi daripada tersakiti lebih jauh, meskipun itu idenya untuk menjodohkan Gavin dengan sahabatnya. Tetap saja Ia tak rela, karena Senna sudah mencintai Gavin sudah tujuh tahun lamanya, dan Ia rela untuk membahagiakannya Senna haruslah menelan pil pahit di kehidupannya. "Kenapa gue sedih, itu kan jalan terbaik buat Gavin dan pastinya dia bakalan lupain gue"
Sebelum beranjak pergi Ia mencoba memberanikan diri dengan menatap pasangan yang terlihat serasi itu. "Good luck Vin"
Kaki Senna lemas seperti jelly, tak kuat dengan hidupnya yang tak akan lama lagi. Hal itu yang mendorong Senna gencar untuk menjodohkan Gavin dengan sahabatnya sendiri.
Ia adalah gadis rapuh saat ini, dan hanya cara itu Gavin akan melupakan cinta keduanya. Meskipun cinta Senna tidak bertepuk sebelah tangan Ia berjanji akan selalu menyimpan cintanya untuk Gavin sampai ajal menjemputnya. "Mbak Senna. Ibu udah nunggu di rumah, ayo pulang" Suara pembantu Senna langsung terdengar di pendengaran nya.
Tubuhnya langsung di payungi oleh wanita paruh baya bernama Raisa. "Mbak Senna kok di taman sendiri, Aden kemana emangnya"
"Nggak dateng Bi" Senna harus berbohong agar Raisa tak banyak bertanya.
"Mbak marahan sama Aden?" Senna pikir Raisa tidak akan bertanya banyak.
"Enggak kok, udah ya Bi" Senna menatap Raisa yang di balas wanita berumur 29 tahun itu dengan anggukan.
Senna memasuki mobil BMW hitam di bagian penumpang depan, dan itu harus di bantu oleh bodyguard kepercayaannya. "Udah aku bisa sendiri" Senna menolak dengan mendorong bahu pria yang menjadi bodyguard selama Ia berada di luar rumah.
Pria itu tak berkomentar dengan begitu Senna masuk mobil. Raisa dan bodyguardnya pun juga ikut di bangku belakang. Senna menatap taman dari balik kaca jendela, tatapan keduanya bertemu sebelum akhirnya mata Senna tertutup sepenuhnya.
******
Gavin melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, dia begitu khawatir dengan keadaan Senna yang tadi di lihatnya. Bahwa gadis itu sedang sakit. Tak lama Gavin sampai di perumahan mewah milik Senna, ada mobil ambulance dan juga kalangan kabut orang yang berseliweran di rumah besar tersebut. Gavin turun dari motor dan langsung di sambut Ibu Senna yang duduk di sofa ruang tamu. "Gavin"
"Tante" Gavin bersalaman sebagi rasa sopannya. "Senna di mana Tante"
"Di kamar atas, keadaannya makin kritis dan Tante jadi takut Vin" Ibu Senna — Sarah terlihat sangat lelah.
Gavin mendekati Sarah yang duduk di sofa. Ia mengusap seberkas air mata yang mengalir pada pipi Sarah. "Tante berdoa aja ya. Gavin mau nyusul Senna"
Sarah mengangguk sebagai jawaban dan Gavin segera melangkah pergi menaiki tangga atas, kamar milik Senna terlihat ramai oleh para medis. Darren Ayah Senna keluar dari kamar putrinya. "Om Darren, gimana Senna"
"Senna belum sadar" Darren sangat kahwatir pada keadaan putrinya.
Tak lama dokter yang menangani Senna keluar dari kamar. "Pak Dennis Mungkin dua jam putri anda akan sadar, dan jangan buat dia berpikir banyak atupun tertekan"
Dennis mengangguk sebagai balasan. "Iya, terimakasih dok"
"Dan ini resep obat-obat yang di perlukan, jangan sampai telat untuk di minum" Suster berpakaian yang berbeda dari yang lainnya bersuara.
"Terimakasih suster" Setelah para medis pergi Gavin berpamitan untuk menemui Senna.
Gavin tersenyum samar melihat tubuh Senna yang terbaring lemah, kamarnya kini sudah di sulap menjadi seperti rumah sakit kecil. "Sen"
Gavin menarik kursi dan duduk di samping tubuh Senna, ada selang infus dan alat pernapasan. "Kenapa lo lakuin ini" Monolog Gavin sendu.
"Lo gak perlu susah-susah cari jodoh buat gue, kalo nyatanya kita saling cinta" Tangan hangat milik Gavin mengusap rambut gadisnya.
"Gue sayang lo" Gavin akan terlelap dan berharap saat terbangun nanti semoga Ia bisa melihat gadisnya kembali ceria.
*****
Dua jam berlalu panjang, perlahan kelopak mata Senna terbuka. Saat sadar sepenuhnya Ia tersenyum kecil menyadari bahwa Gavin ada di dekatnya. Tangan Senna mengusap rambut halus milik Gavin.
Tak lama suara pintu terbuka membuat Senna menatap kedatangan Darren dan Sarah. "Sayang" suara Sarah terlihat serak terlihat habis menangis.
"Ma—." Senna menggeleng tak mau di ganggu.
Dan Sarah mengerti dengan begitu dia keluar dari kamar bersama suaminya, tak lupa juga untuk menutup pintu. Ia sangatlah tau keinginan putrinya.
Di lain tempat Senna menahan air matanya, benarkah cintanya akan berakhir. Kenapa itu begitu sakit bagi diri Senna, apa dia tidak boleh bahagia dulu bersama cintanya. semua orang menginginkan cinta sempurna seperti Gavin yang begitu mencintainya, namun Senna tidak boleh egois dia harus membuat Gavin bahagia bersama orang lain.
Karena hidupnya hanya terhitung jari. "Senna"
Lamunan Senna langsung buyar ketika wajah Gavin sudah berada di dekatnya. "Lo udah sadar"
Gavin memeluk tubuh Senna, tidak begitu erat namun sangat nyaman. "Maafin gue"
Senna menggeleng ini bukanlah kesalahan Gavin, untuk apa lelaki ini meminta maaf. "Lo gak salah apa-apa"
"Gue salah Sen, lo sakit hati" Pelukan Gavin terlepas dengan tergantikan tangan Senna yang di genggamannya.
Senna mengernyit tak suka. "Lo ngomong apa sih"
"Udah lo gak usah alesan, kita saling cinta Sen" Ada harapan besar di mata Gavin, namun Senna tak bisa memberikan apa yang di inginkan Gavin.
"Lupain cinta kita, semua udah berakhir" Senna menarik tangannya Ia berpaling untuk menyembunyikan setitik air mata yang menggenang di pelupuk matanya. "Mending lo pulang dan besok jangan jenguk gue, karena gue gak butuh lo lagi"
Gavin menggeram tidak suka, bagaimana mungkin Senna menyuruhnya pulang jika cintanya saja berada di sini sedang berjuang untuk kehidupannya. "Lo sakit Sen!"
"Iya gue sakit, dan akan mati!" Ujar Senna dengan penekanan. Gavin menahan nafas dengan meredam kemarahannya yang sudah berada di ubun-ubun. "Pergi Vin"
"Oke" Hanya kata itu yang meluncur dari bibir Gavin setelah keheningan yang menyapa.
Suara pintu tertutup membuat Senna menoleh, bahwa Gavin sudah pergi dan Isak tangis langsung keluar dari bibir Senna air matanya pun sudah mengalir deras. Ya, lebih baik seperti ini.
*****
Jangan lupa untuk vote komentar and follow
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story
RandomHolla guys comeback lagi dengan cerita baru yang akan Author bawakan, dan kalian jangan lupa, untuk follow vote and komen. Di Short Story ini cerita tentang kisa kehidupan mereka yang sudah Author rangkum sedemikian rupa untuk membuat kalian tertari...